TI – Pernikahan adalah ibadah yang sakral. Mempunyai risiko hukum yang memungkinkan terjadi pengharaman pada waktu yang tidak disadari.
Seperti diriwayatkan dari Umar RA., bahwa Ali bin Abi Thalib Karamallhu wajhahu, berkata; “Tidak ada gurauan dalam empat hal.” Yang dimaksud dengan gurauan di sini adalah bermain-main dengan menyebut suatu ungkapan yang bukan pada tempatnya, seperti seorang berkata, “Aku nikahkan kamu dengan putriku”, sementara ia sendiri tidak bermaksud menikahkan putrinya itu, dengan lawan bicaranya yang laki-laki tersebut. Demikian Ali bin Abi Thalib RA berpendapat dalam riwayat Umar dimaksud.
Hal yang terpenting dalam kehidupan di dunia ini adalah kebahagiaan, melalui “proses penyempurnaan” ke arah pencapaiannya. Di akhirat tidak lagi penyempurnaan, seperti yang dialami di dunia ini.
Proses penyempurnaan hanya ada di dunia, dengan makna bahwa di akhirat kita akan menerima sesuai dengan apa yang diperbuat di dunia ini. Maka, kehidupan di dunia ini seperti ungkapan, “Dunia tempat beramal, dan akhirat adalah tempat menerima ganjarannya“, sesuai dengan apa yang kita usahakan di dunia.
Dikutip dari Serambi Indonesia, Guru Besar dan Praktisi Hukum Fikih Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr HA Hamid Sarong SH MH menilai, penyebab tingginya angka perceraian karena rendahnya pandangan sebagian masyarakat terhadap nilai suci pernikahan atau yang disebut lembaga pernikahan.
“Di era modern ini ada masyarakat yang menganggap sebuah ikatan pernikahan sesuatu yang sederhana. Ini berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat, keluarga maupun pasangan suami istri mempertahankan rumah tangga. Ini juga dipengaruhi situasi kekinian yang menganggap pernikahan sesuatu yang mudah sehingga perceraian juga mudah dilakukan,” kata Profesor Hamid yang dimintai tanggapannya terhadap liputan khusus Serambi edisi Minggu (14/2) berjudul ‘Banyak Istri Minta Cerai’.
Ditegaskannya, jangan pernah menganggap pernikahan itu sesuatu yang sederhana, akan tetapi sangat sakral karena diikrarkan kepada Allah. Anggapan yang salah menyebabkan pernikahan dianggap hal biasa, sehingga perceraian juga dianggap biasa. Padahal Rasul dalam haditsnya menjelaskan perceraian sesuatu yang halal tapi sangat dibenci Allah. “Dibenci berarti berujung malapetaka,” kata Ketua Prodi S3 Fikih Moderen UIN Ar-Raniry itu.
Ditambahkannya, pasangan-pasangan masa kini banyak yang melupakan hadits tersebut atau justru hanya menggunakan penggalan mengenai hukumnya yang halal. Padahal bagian berikutnya justru merupakan penekanan bahwa hal itu sangat dibenci yang berarti berujung petaka.
Untuk meminimalisir perceraian, orang tua dan pasutri harus benar-benar bertanggung jawab. Ada hal penting yang sering dilupakan yakni membangun dan selanjutnya mempertahankan komitmen mampu menyesuaikan diri dengan pasangan yang telah dipilih. Dengan demikian juga harus selektif memilih pasangan.
Dulu, katanya, Masyarakat adat justru menganggap perceraian sebagai sesuatu malapetaka. Mengenai banyaknya cerai gugat atau fasakh sebenarnya sah-sah saja karena juga ada diatur dalam fiqih. Tentu wanita juga punya alasan yang kuat baru permohonannya diterima Mahkamah Syar’iyah. Sementara cerai talak juga sebenarnya banyak, tapi ada yang tak tercatat di mahkamah. “Jadi sebenarnya jumlah perceraian lebih banyak lagi dari yang sudah terdata itu,” kata putra Aceh tersebut.
Dia menilai regulasi mengenai cerai talak juga harus diatur oleh pemerintah. Prosesnya diawali dengan peraturan pernikahan. Ulama juga diharapkan mengkajinya. Jadi semua perceraian harus sah tercatat, sehingga lelaki juga tak sekehendak hati menalak istri. Dengan kondisi ketidakcocokan pasutri, sebagian suami hanya melakukan cerai tanpa ke mahkamah sehingga sang istri harus menggugatnya agar menjadi resmi. Karena hanya dengan cara menggugat sang istri bisa meminta cerai dari suami. Ulama Aceh diminta untuk membahas lagi, selain dilihat dari sisi syariah, harus juga dilihat aspek sosiologis. Apalagi, menurut dia, hukum syariah itu tidak sempit tapi ada kajian-kajian.
Mengatasi tingginya perceraian, dia mengimbau kepada pemerintah melalui pihak terkait agar penerapan syariat Islam jangan hanya fokus mengurusi eksekusi atau sanksi hukum bagi pelaku pelanggar syariat. Apalagi sanksi itu dominan di bidang jinayah.
Padahal ada hal lain yang lebih penting yakni pencegahan, pembangunan manusia, sosialisasi, dan aksi riil agar masyarakat tak berselisih. Faktor lainnya, menurut Hamid Sarong, terkait regulasi pun masih berbeda kesepahaman, khususnya terkait batas minimum usia pernikahan. Untuk itu ulama dan pemerintah harus membahasnya lebih khusus. “Mayarakat dan orangtua harus berperan. Perangkat desa juga harus mengayomi. Diupayakan memediasi sengketa di tingkat desa. Jangan biasakan bersikap invidualistis. Intinya, semua pihak harus meningkatkan kepedulian dan pencegahan. (**)
Discussion about this post