Pemahaman tekstual dan kontekstual adalah dua cara memahami ajaran Islam yang kadang berbenturan.
Cara pertama biasanya datang dari kalangan awam (kadar intelektual rendah). Mereka biasanya menuntut harus ada dalil, nash yang secara tekstual menunjuk ke situ, baru hal itu mereka terima dan anggap sah pemahaman itu. Ada kecenderungan umum bagi kalangan ini, ialah gampang dan mudah menyalahkan, atau menuduh macam-macam.
Cara kedua biasanya, meski juga tidak umum, datang dari kalangan mereka yang terdidik (kadar intelektual tinggi). Biasanya mereka tidak terpaku pada teks, tetapi lebih kepada memahami maksud atau makna di balik teks itu. Atau dengan kata lain, memahami situasi dan kondisi yang melatari peristiwa itu. Bagi mereka, ini juga dalil (ayat kauniyah) yang tak boleh diremehkan. Sahabat Umar Ibn Khattab dalam banyak kebijakannya banyak mempraktekkan hal ini. Misalnya saja beliau tidak lagi memberikan zakat kepada muallaf, yang di masa Nabi masih diberi, karena situasi dan kondisinya sudah berubah jauh,. Padahal masa Nabi dan Umar berjarak sangat dekat.
Sebetulnya, dua cara pemahaman di atas, tekstual dan kontekstual, sudah ada di zaman Nabi saw. Dua macam cara memahami agama itu absah di mata Nabi saw. Lah wong Nabi yang pernah menyabdakan, خاطب الناس علي قدر عقولهم (bicaralah kepada manusia sesuai kadar intelektualnya) ini tentu (pastilah) sangat paham tingkat pemahaman setiap sahabatnya.
Mari kita ikuti lebih lanjut latar belakang lahirnya dua cara pemahaman yang berbeda ini:
Usai perang Khandaq atau Ahzab, Nabi saw mengumpulkan para sahabatnya. Beliau ingin menyampaikan pengarahan kepada mereka apa yang harus dilakukan berikutnya. Kepada mereka beliau mengatakan:
لَا يُصَلِّيَنَّ اَحَدُكُمْ الْعَصْرَ اِلّا فِى بَنِى قُرَيْظَة
“Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar, kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah”.
Mereka sangat paham kata-kata Nabi itu, karena dinyatakan dengan bahasa yang jelas dan tegas:
“jangan sekali-kali…kecuali”. Atau : “tidak seorangpun boleh shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”
Ini berarti bahwa shalat Ashar hanya boleh dilakukan di perkampungan Bani Quraizhah. Dan itu berlaku bagi siapapun sahabat Nabi yang ada dalam perjalanan itu. Tidak ada seorang pun ketika itu yang bertanya. Andaikata Nabi bertanya kepada mereka : “Apakah kalian mengerti kata-kataku ini?”, niscaya mereka akan mengatakan serentak: “mengertiiii”. “Nah sekarang berangkatlah”, kira-kira begitu kata beliau.
Maka merekapun berangkat ke arah perkampungan yang disarankan Nabi itu. Tetapi di tengah perjalanan mereka melihat ke langit sambil bergumam sendiri: “Mega merah saga menjelang datang. Langit dihiasi warna kuning. Bila shalat Ashar di laksanakan di tempat yang diperintahkan Nabi tadi, mega merah saga pasti merebak, memenuhi langit. Ini berarti waktu shalat Ashar menjelang habis. Bila perjalanan dilanjutkan sampai ke perkampungan Bani Quraizhah, waktu Ashar pasti habis dan masuk waktu shalat Maghrib.”
Mereka bingung, gaduh dan berdebat: “Kita harus shalat Ashar di mana? Di kampung Bani Quraizhah atau di perjalanan?”, begitu pertanyaan yang menyeruak.
Masing-masing lalu merenung: “Jika ikut perintah Nabi berarti harus shalat di perkampungan Bani Quraizhah. “Tidak bisa tidak.” Bukankah perintah Nabi wajib diikuti?. Tetapi akibatnya waktunya sudah habis, lewat, dan kita tidak boleh melaksanakannya di luar waktunya masing-masing. Bukankah al-Qur’an sudah menegaskan hal ini?
Lalu apa yang terjadi kemudian? Ada sahabat yang shalat di perjalanan, dan ada yang shalat (Ashar) di kampung Bani Quraizhah, meski sudah di waktu Isya, sesuai dengan pendekatan/pemahaman masing-masing.
Manakala kemudian bertemu Nabi, mereka menceritakan kejadian itu, sambil meminta pandangan beliau tentang siapa di antara dua kelompok itu yang benar. Nabi tersenyum, tidak marah dan tidak menyalahkan siapapun. “Kalian telah berpikir keras dan untuk itu semua kalian mendapat pahala”
Aduhai. Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah Saw. Beliau tidak menyalahkan salah satu pikiran sahabat-sahabatnya, malahan memberikan penghargaan kepada keduanya atas usaha mencari kebenaran
Para ahli hukum Islam mengomentari peristiwa ini. Mereka yang shalat di Bani Quraizhah adalah penganut madzhab “tekstual/harfiah.” Atau mereka menyebutnya Mazhab “Nashshiyyah”. Sementara yang salat di tengah perjalanan, adalah penganut madzhab “Kontekstual”. Ada yang menyebutnya Mazhab “Maqashidiyah”
Wallahu a’lam.
Discussion about this post