Oleh : Andi Fery, (Alumni The Flinders University of South Australia)
TI – Pandemi yang disebabkan oleh Covid-19 sangat mempengaruhi dunia global dari berbagai aspek terutama aspek sosial dan ekonomi. Sehingga mau tidak mau untuk mengatasi dan beradaptasi dengan kondisi yang tak satu pun ada ahli yang dapat memprediksi kapan berakhirnya. Peradaban dan kebudayaan masyarakat pun harus berubah, hal ini tentu saja wajib hukumnya untuk diikuti, dengan adanya perubahan pola kehidupan bermasyarakat, bangsa dan bernegera, tak terkecuali Indonesia. Maka kalau tidak, wabah ini akan lebih buruk dan mematikan sebagaimana yang sudah pernah diprediksi oleh Bill Gates di tahun 2015 dalam suatu presentasinya yang berjudul, “The next outbreak? We’re not ready”.
Oleh karena ketidak siapan mental dalam menghadap pandemi inilah akhirnya menjadi bumerang dan membuat negara-negara di dunia menjadi limbung dan hilang keseimbangan. Bahkan Indonesia merupakan negara yang paling terdampak oleh wabah ini di bandingkan dari seluruh bangsa yang ada di ASEAN (Kompas.com, 2020) dan yang lebih miris lagi adalah angka kematian yang disebabkan oleh virus Covid-19, Indonesia menempati urutan pertama. Prestasi ini tentu saja bukanlah suatu hal yang harus dibanggakan. Tapi harus dicari akar permasalahannya.
Kita hendaknya dapat mengambil iktibar dan belajar dari negara-negara yang telah mampu menekan dampak Covid-19 ini. Tiongkok, misalnya, sengaja mengambil resiko ekonomi dengan cara me-lockdwon 20 provinsi. Masyarakat pun dikarantina secara massal dengan tak satu orang pun diperbolehkan berkeliaran, semua jalan dan gang dijaga dengan ketat. Di samping itu, negara ini juga menyiapkan rumah sakit darurat dalam waktu sangat singkat. Lain lagi dengan Singapura yang memilih membuka data penderita Covid-19 kepada publik. Dengan cara ini, semua pihak terlibat dalam mencegah penyebaran virus. Penduduk pun ikut aktif dan penuh disiplin sehingga tidak satu pun korban jiwa jatuh di Singapura.
Lalu negara tetangga kita yang lain, Australia, dengan sangat cepat mengatasi dampak Covid-19 karena kedisplinan warganya dalam mengikuti protokol kesehatan yang diterapkan oleh negara bagian masing-masing. Sekarang ini negara bagian Australia yang masih harus melakukan lockdown adalah Victoria. Tapi informasi selalu mereka update setiap ada perubahan data, bahkan yang lebih hebat lagi yang selalu tampil di depan publik itu adalah Daniel Andrew, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan bukan Juru bicaranya dan bukan pula tim Covidnya yang wara-wiri di layar kaca. Daniel Andrew selalu tampil paling depan untuk memberikan informasi ke publik dan juga langsung memberi intruksi sehingga dengan demikian perangkat birokrasinya bisa bergerak cepat termasuk aparat kepolisian langsung bisa menindak dan mendenda orang yang melanggar di mana pun itu dan saat itu juga. Patroli apparat pun tidak ramai-ramai, cukup satu atau dua orang saja. Jadi, tidak ada itu istilah patroli gabungan.
Lalu bagaimana dengan negara kita? Kenapa kita masih berkutat dengan argumen-argumen dan kelakuan masyarakat yang sebagian besar tidak peduli dengan permasalahan-permasalahan ini? Bahkan antar pemerintah pun acap kali saling kritik kebijakan dengan memperdebatkannya serta saling mencurigai dan bukan untuk meng-sinkronkannya? Kalau sudah begini artinya memang mental bangsa kita sudah terkunci alias locked dan jatuh, jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain (down). Di saat orang sudah mampu mengatasi kita masih berpikir aturan, belum lagi penerapannya bagaimana. Aturan hanya sebuah instrumen yang mengarahkan sikap dan perilaku masyarakat. Namun yang jauh lebih penting adalah masyarakat itu sendiri harus mampu me-lockdown mentalnya untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, seperti halnya tidak disiplin, tidak tenggang rasa, mau menang sendiri. Orang besar selalu benar dan yang kecil salah semua. Ini adalah beberapa dia ntara mental-mental berkonsep negatif yang harus dilockdown untuk perubahan yang lebih baik.
Mental suatu bangsa bukanlah suatu tujuan yang secara instan dapat dicapai dengan mudah, karena ini merupakan proses yang membutuhkan waktu dan cara kita mengarahkan dan mengendalikannya dan bukan persoalan ke mana arah yang kita tuju. Mental suatu bangsa akan sangat berkaitan erat dengan karakter dan moral masyarakatnya. Kalimat di atas cukuplah untuk menggambarkan betapa tugas berat sudah sangat jelas di depan mata bahwa untuk beradaptasi dengan pola kehidupan baru dan peradaban yang sebelumnya, belum mengkristal dalam kehidupan masyarakat dan bangsa. Sehingga hal ini bukanlah suatu tugas yang mudah untuk dilakukan.
Sebagai salah satu instrumen untuk melockdown pola fikir dalam rangka menghentikan lajunya wabah ini, maka dibuatlah aturan atau bahkan Perda. Untuk di Sumatera Barat misalnya, dikelurkanlah Perda nomor 6 tahun 2020 tentang Adaptasi Kebisaan Baru (AKB). Dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019. Perda ini bertujuan salah satunya adalah mewujudkan kesadaran bersama dalam rangka mencegah dan mengendalikan penularan Covid-19 di daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Tujuan ini tentu saja sangat bagus dan sangat bisa tercapai dengan catatan masyarakat harus disiplin dan harus me-lockdown keinginan-keinginannya yang bersifat personal maupun communal seperti halnya, acara pernikahan dan pertemuan-pertemuan lainnya yang melibatkan orang banyak karena jelas-jelas dalam perda ini dikatakan, bahwa harus selalu jaga jarak minimal satu meter dan mematuhi aturan protokol kesehatan. Kalau tidak, harus diberlakukan sanksi sebagaimana termaktub dalam pasal 101 dan 102 di mana dijelaskan ada sanksi administrasi dan sanksi pidana. Tapi akankah ini efektif? Mengingat mental disiplin bangsa kita yang sangat rendah. Karena semua itu akan bermula dari disiplin, termasuk disiplin pelaksaan sanksi yang tidak ada tawar menawar.
Disiplin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan suatu kondisi yang merupakan perwujudan sikap mental dan perilaku suatu bangsa ditinjau dari aspek kepatuhan dan ketaatan terhadap ketentuan peraturan dan hukum yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalannya adalah membiasakan disiplin pada bangsa kita ini tidak mudah di samping juga membutuhkan waktu dan proses yang lama. Buktinya, disiplin waktu saja kita sangatlah susah padahal itu diajarkan di sekolah bahkan sejak TK. Tapi setelah mereka terjun kembali ke masyarakat disiplin waktu ini sudah tidak kita temui lagi dan kembali mentah, bahkan untuk memulai undangan tepat waktu saja kita sangatlah sulit atau ekstrimnya bisa dikatakan tidak bisa. Kenapa bisa begitu? Karena memang mental kita untuk berdisiplin sudah terlockdown. Bahkan ada semacam kesepakatan tidak tertulis bahwa kalau undangan jam 08.00 WIB maka mereka pun akan berpikir paling-paling itu dimulai jam 09.00.WIB, hal ini diperparah pula dengan tidak adanya contoh dari pemegang kebijakan.
Oleh karena itu yang terpenting dari suatu peraturan yang efektif adalah untuk merubah mental dan budaya semua masyarakat tanpa kecuali termasuk penegak aturan itu sendiri tidak boleh melukakan pelanggaran “equality before the law” aturan dengan menerapkan sanksi juga harus adil dan terukur, jangan sampai ada petugas yang memberikan denda, tapi setalah itu ada pula petugas yang membebaskan orang tersebut dari segala sanksi karena alasan kedekatan, orang dalam atau karena keseganan serta seribu satu alasan lainnya. Karena bagaimana pun juga aturan hanya berupa tulisan-tulisan di atas kertas dan yang mampu memberinya makna adalah penegak dan objek hukum itu sendiri.
Discussion about this post