By : Yohandri Akmal
Langit mulai meredup. Kelampun perlahan berangsur nyata. Matahari tenggelam menggugah sanubari kami di senja itu. Sangat menyamankan. “Udah waktunya magrib, pulang yuk!” seru Sinda.
“Yuk”, kami serentak menjawabnya.
Kemudian, Akmal berdiri dan merogoh koceknya, setelah itu, uang puluhan ribu dari sakunya ia genggam. “Buk, nih bayar kopinya” kata Akmal menyodorkanya ke penjaga warung. Kami semua ikut berdiri, dan berkemas hendak pulang.
Beberapa saat aku melihat Rudy sedang kewalahan mengengkol motornya dan kusapa,”Gimana bang, ada masalah dengan motornya?” kataku. “Berulah lagi kayaknya Bud, seperti biasanyalah” Rudy membalas tanyaku.
Hampir sepuluh menit lamanya kami menunggu. Namun motornya tidak kunjung hidup. Suara adzan magribpun terdengar berkumandang. Kemudian Akmal berdiri dari cangkunganya lalu mendekati Rudy.
“Buang aja ke laut Rud”, katanya berseloroh dan ikut serta mengengkol motor Rudy.
“Dengar kau tu Vo, kalau nga hidup terpaksa kubuang”, gerutu Rudy seolah pada motornya sendiri. Aneh bin Ajaib, sekian detik kemudian motornya hidup sewaktu di engkol Akmal. Tungkai kaki Akmal menjadi pahlawan kala itu. Suasana kembali lega, kami tidak jadi mengawani motor tua itu, seperti orang-orang dongok di tepi pantai.
Rudy menaiki motornya, ”Beginilah bang nasib wartawan seperti kita, meskipun hidup susah tapi tetap konsisten berjuang. Mudah-mudahan saja pembaca setia targetsumbar.com ikut mendukung dan mendoakan kita. Oke bang Mal, kita bubar dulu yaa sampai besok”, katanya diiringi senyum.
Kamipun pulang ke kediaman masing-masing.
Tak terasa sekian lama berjalan dengan motor. Terlihat dari jarak beberapa meter, pagar beton berwarna biru dihiasi terali besi di bagian tengahnya. Seketika di depan itu, motor kuberhentikan dan membukanya lalu masuk ke perkarangan rumahku.
Sesampai di teras rumah. Di depan pintu masuk, mataku tertuju kepada dua pasang bangku bambu berjajar di sebelah kiriku. Pikiran ini mengajak badan untuk merebah dibangku tersebut. Seketika badan kurebahkan, istriku muncul dari dalam tepat berada di depan pintu.
“Ga masuk bang, mandilah dulu!” kata wanita berbaju daster berkulit putih itu kepadaku.
“Nanti dululah Rin, bikin kopi aja taruh di sini”, balasku.
“Si Manda, dari tadi nungguin tuh bang, nanyain papanya” saut Rini membalas kembali.
“Iya, biar ajalah dulu, lagian abang nga bawa kue buat dia kok, kebetulan uang habis buat bensin tadi itu” ucapku lagi. Istriku tersenyum manis masuk ke dalam memenuhi permintaan kopi dari suaminya.
Ketika santai, muka ku arahkan ke bukit di ujung pandanganku. Terlihat jelas corong besar berkabut dari kejauhan. Tepat di lokasi perusahaan besar itu. Nafas kembali kuhela, merasakan betapa beratnya mengekspos perusahaan besar yang mampu membeli penguasa nagari ini. Sehingga kami seakan dibuat tak berdaya, begitupun masyarakat di sana tanpa kuasa apa-apa.
Aroma kopi menegur lamunanku, yang tak kusadari telah tersaji. Seraya meneguknya, aku membayangkan masa perjuangan sebelumnya. Cangkir putih berukuran kecil itu kuletakan di atas meja. Dalam bayangan, teringat jelas masa-masa sulit yang kami lalui dahulu.
Lima bulan sebelum malam ini. Di dalam garasi mobil yang kurehab menjadi ruangan kantor. Aku sibuk mengencani komputerku sendiri. Berjibaku dengan urusan sebagai seorang programmer, membuat aplikasi pemograman computer pesanan klien.
Profesiku sebagai IT (Pakar Komputer) menggeluti pekerjaan dibidang jasa di komputerisasi. Tubuh gemuk semakin gemuk semenjak menggeluti pekerjaanku ini. Namun hal itu membuat aku senang, banyak para wartawan dan pengusaha media menjadi relasiku. Cukup banyak website portal berita online kubuat untuk para pengusaha media relasiku itu.
Di kamar kecil itulah semua rumus algoritma dan bahasa pemograman kuracik.
Sore itu, aku tengah asik sekali bekerja, dari layar komputer tiba-tiba aku melihat sesosok bayangan orang masuk dari pintu, tepat di belakangku. Kepalaku bereaksi cepat menoleh ke belakang. Kulihat seorang laki-laki bertubuh kurus berambut panjang sebahu, dengan senyum manis yang khas berhias di bawah hidung mancungnya. Keningku sedikit mengkerut melihatnya, bukan karena tidak kenal tetapi karena sudah lama wajah ini tidak datang ke rumahku.
Memang seperti itulah Akmal, dirinya selalu penuh misteri dan keunikan. Semenit lamanya dia hanya tersenyum kepadaku tanpa sapaan sepatah katapun darinya, hanya akulah yang memulai pembicaraan.
“Tumben bang, kemana aja selama ini?” tanyaku sambil menyalaminya.
“Ceritanya panjang Bud, aku numpang shalat dulu ya, sebentar lagi kubuka ceritanya” ucapnya kemudian tergesa-gesa masuk kedalam rumahku.
“Asslalamuallaikum, numpang shalat buk, pinjam sajadah”, katanya ke mertuaku yang masih kudengar dari ruangan kerjaku.
“Ya Mal, silahkan, ambil aja di dekat Tv itu” , kata ibu mertuaku menjawabnya.
Seperempat jam setelah komputer kumatikan, Akmal datang membawa dua gelas capucino ke hadapanku, seperti kebiasaanya dahulu yang tidak pernah hilang.
“Begini Bud, ga ada lagi rasanya kawan se ide seperti kamu. Aku diberikan data tentang salah satu perusahaan pertambangan besar di kota ini oleh seorang wanita bernama Sisilia”, katanya membuka cerita.
Dengan kepolosan diri yang kupunya. Aku menekan pertanyaan kembali,”Aku nga ngerti apa yang abang sampaikan. Perusahaan apa, tambang apa, Sisilia siapa?”, kataku protes.
“Eh peak, dengerin dulu ceritanya sampai habis” ujarnya kesal.
“Sisilia itu, wanita yang tertindas, dia sudah lama berjuang bersama ibunya mempertahankan haknya. Sudah mengadu kesana kemari namun tak dapat pertolongan dan sampai ia bertemu denganku, maka barulah ia mendapat dukungan moril”, katanya menjelaskan.
Dilanjutkanya, “ Aku mau menolong Ibu Lia. Namun saat ini media tempatku bekerja tidak bersedia membantunya, kalau tidak ada operasional dalam bentuk uang. Nah, aku datang kemari meminta kamu buatin media online agar bisa bantu ibu itu”, ucap Akmal dengan wajah serius yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Hampir satu jam ia menjelaskan kronologi kasus yang menimpa Sisilia secara mendetail. Membuat aku ternganga dan merasa bersimpatik. Lalu, keinginanya itu akan aku laksanakan namun hanya saja, dana yang tidak cukup membuat Akmal kembali lesu.
Tetapi, aku tidak hanya berhenti di situ saja. Aku mulai memeras otak untuk mencari solusinya. Setelah beberapa saat, kutawarkan sebuah media online yang telah ada tapi tiada pengelola.
“ Begini aja bang, kalau abang bersedia mengelola minangnews.co.id mungkin hal ini akan terasa lebih mudah dan tidak mengeluarkan anggaran yang banyak”, tawaranku ke Akmal.
Sambil meminum capucinonya, Akmal terlihat masih berpikir-pikir dan menimbang-nimbang tawaranku. Sesaat kemudian, ia menyatakan bersedia menerimanya karena kondisi saat itu terasa sudah mepet.
“Hmmmm…baiklah Bud, kalau media itu bisa kukelola sepenuhnya, aku bisa menerimanya asalkan Budi juga mau membantuku”, jawabnya.
“Kalau soal itu aku pasti bisa bang, karena akupun rindu dunia jurnalistik dan lagian apa yang nggak kuberikan ke abang. Hanya istriku saja yang tidak mungkin kuberikan”, ledekku menyahut jawabanya.
Kami berdua resmi memulai perjalanan di dunia PERS bersama-sama. Aku merasa cocok bekerja sama dengan dia selama ini. Dan itulah alasanku mau saja menerima kerjasama ini.
Minangnews.coid tampil eksist di dunia maya melalui pemberitaan secara online. Satu bulan berjalan, minangnews.coid mendapat antusias pembaca yang sangat tinggi. Terlihat dari jumlah pengunjung rata-rata dua-tiga ribu per harinya.
Hal itu merupakan hasil yang memuaskan ketika kami mengelolanya. Terkait penyampaian aspirasi Sisilia, kamipun satu-satunya media kala itu yang berani mendukung.
Mulai dari pemberitaan tentang keluarga Sisilia melakukan demo besar-besaran. Menutup jalan masuk ke perusahaan tambang. Dan sampai dengan pemberitaan bagaimana haknya dirampas tanpa bisa diambil kembali. Kami selalu meliput kegiatan Sisilia menuntut haknya di perusahaan pertambangan terbesar itu.
Bersambung…….. Edisi 3
Discussion about this post