By : Yohandri Akmal
Sebulan sudah, pekerjaan berlalu cukup lancar. Aku lebih santai dengan pemberitaan ringan di portal berita kami. Pagi itu di rumahku, panas sinar matahari menyengat lebih cepat dari biasanya. Kegiatan mencabut rumput liar, sebagai rutinitas sehari-hari di halaman rumah terpaksa terhenti.
Hendak berdiri dari cangkungan, dari kejauhan terlihat motor matic berwarna putih yang sudah tak asing lagi melaju ke arahku. Keringat bercucuran di badan membuat tubuh ini gerah sehingga, aku beranjak ke bangku bambu di teras untuk duduk dan berteduh.
Motor itu mendudu saja masuki pekarangan rumah kemudian berhenti di hadapanku. Tampak pria bertubuh tinggi tegap mengenakan jaket putih, tersenyum setelah helmnya terbuka. Wajahnya penuh semangat mendatangi ku pada saat itu. Lelaki 24 tahun yang datang itu adiku bernama Willy.
“Kenapa datang pagi-pagi begini Will?”
Dia tidak menjawab. Malah menyodorkan kantong plastik berisi beberapa bungkusan lontong pical dan bermacam kue. “Nih bang, sarapan.” Lalu, tanganya begitu cepat menyambar kopi yang belum sempat kuminum. Merokok sambil tersenyum-senyum sendiri seperti sengaja membuatku penasaran.
Willy adalah adik sepupuku, ia juga satu profesi sebagai penulis di media masa. Namun ada bedanya. Dia sangat tertarik dengan berita seputar prostitusi dan tindakan Asusila. Semenjak aku mengajaknya menjadi wartawan, dia sangat betah dengan pekerjaan itu. Tetapi hal itu pula yang membuat dirinya sering di pecat, lantaran terlalu sering terlibat dengan pemberitaan prostitusi yang dianggap tidak menguntungkan bagi para media mingguan.
“Tumben… Lagi banyak duit nih kayaknya, dari mana?”, selenehku supaya tidak terlihat penasaran.
“Semalam aku dapat rejeki bang… males pulang makanya ke sini”. Tukasnya.
“Dapat duit dari siapa? Jangan-jangan kamu jadi PSK ya, Will?”, ejekanku ke dia.
“Cuiih….Hentikanlah kecurigaan mendalammu itu terhadapku. Coba deh sekali aja seumur hidupmu berpikir normal tentangku bang!”, jelasnya sedikit meregang.
Sembari menyuap lontong, kudengarkan apa yang dialaminya semalam.
“Semalam, aku wawancarai bencong, kemudian mereka malah bergiliran curhat ke aku bang di Gor” ungkap Willy.
“Lalu!!!!??”, desakku dengan perasaan yang mulai tidak enak.
“Lalu mereka meng-imbaliku dengan sejumlah uang. Sebagai bentuk jasa, karena sudah menjadi pendengar curhatan yang baik”, sepelanya menjelaskan.
“Jadi..? Lontong yang kumakan ini adalah hasil jerih payah para bencong di sana dong? Duit lender!! Berarti uang basah yang kumakan?”, lontong serasa batu saat kutelan.
Willy dengan wajah polos bin malaikat, penuh santai, tersenyum mengangguk pulas.
“Tepat sekali bang, supaya dosanya tidak kutanggung sendiri”. Katanya dengan mimik muka bayi. Tapi menjijikan.
Belum sempat meluapkan kekesalan, tiba-tiba Akmal muncul.
“Selamat pagi…eh ada wartawan Suara Kota News rupanya”. Ucap Akmal menyapa Willy.
“ Ada acara apa gerangan si Willy ke sini Bud?”, Tanya Akmal spontan kepadaku.
“Ga tau bang… Aku ga kenal dengan dia, setahuku dia germo para bencong”, gerutuku masih kesal.
“Eits,… jangan marah-marah dong Bud, ada apa Will? Akmal mencoba mengetengahi. “Sudahlah…kalian masih saja seperti ini. Begini, ada informasi penting dari warga Bukit karang”. Katanya melerai dengan informasi yang serius.
“Apa itu?” kataku.
“Bundo Sisilia sekarang diintimidasi perusahaan. Sebagai pribumi ia tidak dapat mencari penghasilan lagi di Bukit Karang. Seluruh pekerjaan yang ia dapat tidak bisa lagi dikerjakan karena dihambat oleh perusahaan. Sepertinya pihak perusahaan tidak terima jika Bundo terlalu vocal ke awak media memberitakan perihal tuntutan haknya. Bahkan, anak laki-lakinya si Andri juga ikut ditekan dan diancam akan diberhentikan sebagai karyawan perusahaan itu. Sekarang, kehidupan dia semakin sulit semenjak dirinya kita beritakan”. Terangnya menjelaskan.
Sementara di sampingku, Willy terlihat terpelongok ternganga mendengar Akmal berbicara, seolah-olah mengerti. Aku yakin dia sama sekali tidak mengerti.
“Aku punya strategi baru bang”…….
Bersambung……Edisi 4
Discussion about this post