Pemahaman hukum dan politik tidak dapat dipisahkan karena saling melekat satu sama lain, Ibarat tubuh manusia, hukum di umpamakan seperti kerangka tulang belulang dan politik ibarat daging yang melekat dan menyelimuti tulang tersebut. Lalu ketika terdapat pernyataan semacam itu. Biasanya muncul tiga interpretasi yang saling kontradiktif satu sama lainnya.
Artinya, interpretasi pertama menerangkan politik diposisikan sebagai disiplin ilmu yang terpengaruh oleh ilmu hukum. Interpretasi yang kedua menyatakan bahwa politik membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan wujud pada politik. Pernyataan tersebut secara jelas memposisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik.
Defenisinya, interpretasi ini menegaskan bahwa hukum itu merupakan sebuah produk politik. Interpretasi yang ketiga menyatakan bahwa hubungan antara hukum dengan politik di anggap berjalan bagai dua arah sehingga kedua aspek dalam suatu kehidupan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada yang dianggap lebih baik ataupun lebih buruk.
Hukum merupakan produk politik sehingga dapat mengubah keadaan politik tertentu yang akan melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula. Kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama). Meskipun kedua undang-undang itu lahir pada era orde baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dengan memunculkan rasa saling curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi. (**)
Discussion about this post