Oleh: DR. Emeraldy Chatra
Sering saya menerima pertanyaan dari teman-teman: bagaimana memperbaiki keadaan di negeri kita ini? Sudah cukup banyak masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya yang kita hadapi. Seperti benang kusut, tak tentu lagi dari mana harus memperbaikinya.
Ada juga yang bertanya, apakah kita butuh revolusi? Apakah kita perlu menghabiskan satu dua generasi yang rusak agar kerusakan tidak berlanjut terus? Wah, ini pertanyaan yang sangat kejam, ekstrim, dan menyiratkan rasa putus asa.
Saya menganjurkan, sebaiknya kita belajar dari sejarah. Terutama sekali sejarah Islam. Perhatikan bagaimana Nabi Muhammad SAW memperbaiki masyarakat Arab jahiliyah yang jauh dari keadaban. Dari sejarah itu kita akan memperoleh ilmu yang sangat penting.
Pada masa Nabi Muhammad dilahirkan kondisi tanah Arab lebih carut marut ketimbang yang sekarang kita hadapi. Hukum rimba masih berlaku. Membunuh orang, mengubur anak perempuan hidup-hidup, berzina, menipu, merampas, riba dan berbagai kejahatan lain terjadi di mana-mana. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Masyarakat tidak mengenal Allah Yang Satu. Mereka menyembah banyak berhala. Tak heran, masa itu disebut masa jahiliyah, masa kebodohan. Zaman gelap.
Sekalipun sudah sesat sesesat-sesatnya, Allah tidak menghancurkan orang-orang Arab dengan bencana alam. Allah masih ingin memperbaiki akhlak mereka, menyelamatkan mereka dari kehancuran karena perangai sendiri. Allah mengirim seorang laki-laki saja, untuk membawa pesan kebenaran. Hanya pesan.
Allah tidak memberi Muhammad berbagai mukjizat yang membuat beliau mampu menjadi raja Arab dalam waktu singkat. Meskipun utusanNya, Allah membiarkan nabiNya berjuang mati-matian memperbaiki akhlak orang Arab, mengalami berbagai siksaan dan penderitaan.
Kita tidak tahu persis apa alasannya. Mungkin untuk membuktikan kepada manusia bahwa Muhammad itu benar-benar manusia, bukan tuhan yang berwujud manusia. Dengan demikian apa yang dilakukan Muhammad adalah tindakan rasional, bukan mistis, sehingga dapat direplikasi oleh manusia lain setelah beliau.
Hingga akhir hayatnya, Nabi Muhammad tidak membangun kerajaan dan mendaulat diri sendiri sebagai raja. Tak seorang pun, sampai hari ini, menyebut Muhammad itu raja atau sultan Arab. Beliau selamanya menjadi nabi, meskipun faktanya kepatuhan umat Islam kepada beliau melebihi kepatuhan rakyat kepada raja.
Kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad adalah ayat yang tidak tertulis. Melalui sejarah perjuangan beliau Allah mengajarkan kepada kita bagaimana mengubah akhlak manusia. Hanya dua jalan yang dibutuhkan: sampaikan pesan dengan menyentuh hati mereka yang tersesat itu, dan tegakkan hukum Allah. Dua jalan itu saja yang ditempuh oleh Nabi Muhammad sampai wafat. Hasilnya, beratus-ratus juta orang secara suka rela mengikuti ajaran yang beliau bawa. Masa jahiliyah pun berakhir.
Sebagai umat Islam kita harus meniru perbuatan Nabi Muhammad. Dalam pembangunan akhlak ternyata tidak diperlukan kekuasaan sekelas kekuasaan raja yang dapat memaksakan kehendak kepada rakyatnya. Nabi Muhammad tidak pernah memaksa orang memeluk Islam. Justru kaum kafir Arablah yang datang dengan kesadaran sendiri setelah hati mereka terbuka. Mengapa bisa terbuka? Karena Nabi Muhammad menggunakan lisan beliau untuk menyampaikan pesan dari Allah dengan cara-cara yang menyentuh dan membukakan hati.
Apakah sekarang sudah tidak ada lagi orang yang menyampaikan pesan kepada umat Islam sehingga dalam kehidupan sehari-hari banyak yang tidak peduli pada ajaran agamanya? Mereka menyandang identitas muslim, tetap beribadah, tapi dalam praktek ekonomi tidak takut berhubungan dengan riba. Di dunia politik mereka tidak takut berbohong dan berbuat curang. Di pemerintahan mereka tidak takut mencuri urang negara. Apakah pesan yang disampaikan tidak mereka dengar?
Jalan pertama, yaitu menyampaikan firman Allah masih dilakukan secara intensif. Banyak ulama yang rutin menyampaikan kandungan Quran dan sunnah Nabi Muhammad di mimbar-mimbar mesjid. Malah sekarang juga melalui media sosial. Beribu-ribu buku diterbitkan dan dibaca jutaan orang.
Namun di balik itu hukum Allah – sebagai jalan kedua — tidak kita tegakkan. Terutama sekali ‘hukum persaudaraan’ yang mewajibkan umat Islam membangun hubungan sebagaimana layaknya orang bersaudara. Silaturahmi harus dibangun, perpecahan harus dijauhi. Kenyataannya, umat Islam lebih tergoda untuk melanggar ‘hukum persaudaraan’ itu dan menjadikan saudara seagamanya sebagai lawan, bahkan musuh.
Di tengah perpecahan itu orang mudah terbawa oleh nafsu duniawi yang senantiasa dikobarkan oleh iblis. Bukan iblis yang tidak kelihatan saja, tapi juga iblis-iblis berbentuk manusia. Iblis-iblis itulah yang senantiasa menarik manusia ke jalan sesat yang diciptakannya.
Sebagai penutup tulisan ini, untuk memulihkan akhlak umat Islam yang tergerus bahkan rusak kita hanya perlu mengkloning kedua langkah Nabi Muhammad tadi. Intensifkan penyampaian firman Allah, dan bangun hubungan persaudaraan yang kuat. Jangan mendekati apapun yang akan membuat kita berpecah belah.
Wallahu’alam bis sawaab.
Discussion about this post