Jakarta, TI – Ketua DPR Setya Novanto telah berkomunikasi dengan Kuasa Hukumnya, Fredrich Yunadi atas langkah KPK kembali menetapkan dia sebagai tersangka kasus dugaan korupsi KTP elektronik.
Dalam pembicaraan itu, Novanto merasa dizalimi.
“Pak Setya Novanto bilang, ‘Mengapa saya harus diperlakukan seperti ini. Saya bukan penjahat. Saya bukan melakukan sesuatu hal yang membahayakan negara. Tapi, kenapa saya dilakukan tidak adil seperti ini.”
“Toh praperadilan yang dulu-dulu yang KPK kalah (praperadilan) kenapa enggak berani disentuh. Saya tanya, kenapa enggak berani. Kenapa beraninya sama sipil. Ini sudah enggak benar. Kalau adil, semuaya dong. Kenapa banyak tersangka yang enggak diadili. Kenapa bertahun-tahun jadi tersangka seumur hidup. Apakah itu adil. Sekarang saya tanya,” imbuhnya.
Fredrich mengakui timnya dan Novanto telah memprediksi sebelumnya akan adanya penetapan kembali sebagai tersangka. Ia menduga hal itu dilakukan oleh pihak KPK karena dendam setelah lebih dulu pimpinan dan penyidik KPK dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait dugaan pelanggaran pengajuan cegah bepergian luar negeri Setya Novanto.
“Kami sudah tahu mereka akan melawan. Kami tahu banget mereka akan melawan. Jadi bagi saya silakan lawan , tapi saya yakin hukum ini panglima, itu aja,” tukasnya.
Laporkan KPK
Melalui tim penasihat hukumnya melaporkan dua pimpinan dan penyidik KPK ke Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (11/10) malam.
Usai membuat laporan, ketua tim penasihat hukum Novanton, Fredrich Yunadi, menunjukan surat tanda bukti lapor di Bareskrim nomor TBL/825/XI/2017/Bareskrim dengan nomor laporan : LP/1192/XI/2017/Bareskrim tertanggal 10 November 2017.
Dalam surat tersebut, pihak yang dilaporkan adalah Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman, dan penyidik KPK A Damanik selaku kasatgas penanganan perkara terkait Setya Novanto.
Keempat orang KPK tersebut dipolisikan dengan tuduhan telah melawan putusan praperadilan dan penyalahgunaan kekuasaan karena kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik. Mereka dilaporkan atas tuduhan melanggar Pasal 414 KUHP juncto Pasal 421 KUHP.
Dalam surat pelaporan, pihak pelapor atas nama Achmad Rudyansyah.
Fredrich membantah inisiatif pelaporan ini berasal dari Novanto.
“Saya yang minta. Saya sebagai penasihat hukum punya hak untuk melindungi klien saya secara maksimal. Saya tahu apa yang lebih baik dan apa yang terefektif. Apakah salah saya melindungi klien saya?” ujarnya.
Fredrich mengatakan, keempat orang itu dilaporkan ke kepolisian karena sebagai pihak yang menandatangani Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), dan pihak yang mengumumkan penetapan Novanto sebagai tersangka kembali dalam kasus dugaan korupsi KTP elektronik, paska-putusan praperadilan.
“Ya (termasuk yang mengumumkan) mereka sebagai terlapor,” kata dia.
Menurut Fredrich, keempat orang KPK itu telah melanggar putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 September 2017 lalu. Dalam putusan butir ketiga, hakim meminta agar penyidikan kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik atas nama Setya Novanto dihentikan.
Dengan demikian, kata Fredrich, maka KPK tidak berwenang kembali menyidik kasus yang sama untuk Setya Novanto.
Menurutnya, langkah KPK menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi KTP elektronik ini adalah penghinaan terhadap putusan pengadilan.
“Kenapa saya katakan demikian? Dalam ptusan praperadilan nomor 3 yang menyatakan, memerintahkan, ingat memerintahkan, termohon dalam hal ini KPK untuk menghentikan penyidikan terhadp SN, sebagaimana Sprindik nomor 56,” kata Fredrich.
“Nah yang dihentikan itu bukan nomornya. Kita tahu bahasa Indonesia, yang dihentikan itu isi yang tertera di dalam Sprindik nomor 56. Sprindik 56 itu bunyinya apa? Sprindik itu adalah di mana Setya Novanto dituduh bersama-sama dengan Andi Narogong, Irman dan sebagainta, melakukan tindak pidana e-KTP yang merugikan negara, yang nenurut KPK merugikan Rp2,3 triliun,” sambungnya.
Fredrich menilai salah jika ada pendapat hukum jika KPK masih berwenang melakukn penyelidikan dan penyidikan baru setelah ada putusan praperadilan terkait Novanto.
“Yang katakan demikian lebih baik saya sarankan untuk sekolah, belajar Bahasa Indonesia lagi,” selorohnya.
KPK melalui Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengumumkan penetapan kembali Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik disampaikan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, di Gedung KPK, Jakarta, pada Jumat, 10 November 2017, sore hari.
Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus, Irman dan Sugiharto, diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.
Hal itu diduga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan KTP elektronik sekitar Rp 5,9 triliun pada Kemendagri pada tahun 2011-2012.
Setya Novanto disangkakan melangar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Saut menjelaskan, penetapan kembali Setya Novanto sebagai tersangka ini setelah KPK mempelajari secara seksama putusan praperadilan PN Jaksel, 29 September 2017.
Selain itu, KPK juga melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara KTP elektronik mulai 5 Oktober 2017. Sejumlah pihak dimintai keterangan dan dilakukan pengumpulan bukti dalam proses penyelidikan ini.
KPK juga telah melakukan pemanggilan pemeriksaan terhadap Setya Novanto dalam proses penyelidikan sebanyak dua kali, yakni pada 13 dan 18 Oktober 2017. Namun, Novanto tidak memenuhi panggilan dengan alasan ada pelaksanaan tugas kedinasan.
Pimpinan KPK bersama tim penyelidik, penyidik, dan penuntut melakukan gelar perkara pada 28 Oktober 2017, setelah proses penyelidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup.
Dan akhirnya, KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dengan tersangka Setya Novanto pada 31 Oktober 2017.
Saut pun menegaskan, sebagai pemenuhan hak tersangka, KPK telah mengantar Surat Pemberitahuan Dimukainya Penyidikan (SPDP) perkara ini ke rumah SN Jalan Wijaya VIII, Melawai, kebayoran baru, Jakarta selatan, pada Jumat sore, 3 November 2017.
Discussion about this post