Oleh : Andi Fery (Alumni The Flinders University of South Australia)
TI – Dalam ilmu komunikasi dijelaskan bahwa secara teoritis pencitraan atau branding merupakan suatu cara untuk mengkomunikasikan pesan secara jelas dari pemilik merek (brand) kepada target yang dituju, dengan memilih penonjolan diri terhadap aspek tertentu yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, orang yang dicitrakan apalagi orang tersebut adalah calon pemimpin, pastilah akan ditonjolakn sisi baik dari orang tersebut dan mencoba menyembunyikan apa yang tidak baik dari dirinya dengan tujuan untuk mempengaruhi masa (voters).
Penonjolan aspek terbaik dari sang calon tersebut, tentu saja membuatnya tampil seolah-olah lebih baik daripada aslinya yang tentu saja hal tersebut berkebalikan dari sifat sesungguhnya.
Tidaklah mengherankan kalau akhir-akhir ini politik pencitraan sangat gencar dan gesit dilakukan dengan berbuat seolah-olah merekalah yang terbaik dan layak dipilih, hal ini tentulah sah-sah saja. Namun permasalahannya adalah, pencitraan biasanya hanya akan berlangsung sesaat, terutama menjelang berlangsungnya kontestasi suksesi kepemimpinan.
Berbagai macam pencitraan mereka lakukan. Mulai dari dicitrakan dengan menjadi pribadi yang sangat sederhana, dekat dengan rakyat, rajin membantu yang membutuhkan dan taat beribadah, padahal semua amalan itu seharusnya tidak perlu dipamerkan karena memang sudah kewajiban setiap insan kepada sesama manusia bahkan terhadap alam semesta sekalipun.
Hal ini dapat di lihat dengan banyaknya pemimpin di negara kita yang beberapa saat setelah dilantik dan jabatan sudah berada dalam gengamannya, tindakannya seringkali berubah seratus delapan puluh derajat dari yang dilakukannya sebelum ia terpilih.
Sebagai contoh, masih sering kita lihat diberbagai media bahwa sang calon kepala daerah dengan santunnya turun dari mobilnya untuk menyalami kerumunan masyarakat dan mencium tangan para tetua dan kaum jompo. Kaca mobilnya kemana pun pergi sering terbuka lebar dan menganggukan kepala sembari senyum dengan salam kedua telapak tangan teracung.
Tetapi setelah terpilih, kerumunan masyarakat pun seringkali harus dibubarkan dan harus minggir dengan mobil foridernya, dengan bunyi yang menganggu. Kaum jompo yang tadinya disambangi dan dicium tangannya pun harus rela mendekati mobil dan mencium tangan sang pejabat yang enggan turun dari mobilnya itu.
Masyarakat yang membutuhkan bantuan pun harus rela membuat proposal dan memenuhi segala persyaratan yang diminta sang punya tahta, padahal sebelumnya hampir semua calon pemimpin siap membantu walau tidak diminta sekalipun dan terkadang diantarkannya pun di malam hari menjelang pagi. Inilah yang sering diistilahkan sebagai serangan fajar. Tapi adakah pemimpin yang mau membantu rakyatnya dengan sembunyi-sembunyi saat setelah terpilih? Fakta-fakta seperti ini membuktikan bahwa rakyat masih mudah dijadikan korban pencitraan. demi kepentingan politik sang penguasa.
Situasi seperti ini sudah pernah diabadikan oleh Emha Ainun Nadjib, dalam syair lagunya yang berjudul perahu retak lebih dari 20 tahun yang lalu.
Di dalam lirik lagu tersebut, digambarkan bahwa negara kita ini adalah tanah yang subur dan seharusnya melahirkan kebahagian bagi seluruh rakyatnya, apalagi cita-cita luhur bangsa ini memang sudah dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi hal itu tidak pernah terwujud, karena para pemimpin sibuk memperkaya diri dan golongannya. Rakyat hanya diambil suaranya saat pemilihan saja. Setelah itu, rakyat pun akan bersuara parau dan serak kehabisan suara.
Pemimpin yang tadinya berjanji memberikan kesejahteraan, malah membuat ketimpangan di berbagai aspek dan yang lebih parah lagi “Yang salah dibenarkan dan yang benar disingkirkan”, sehingga para cukong kekuasaan tumbuh subur di setiap ada momen pemilihan pemimpin yang konon kabarnya angkanya sekarang mencapai 82% (Dr. Refli Harun, ILC 22 September 2020). Ini artinya bahwa pemimpin, apabila dia terpilih nantinya tentu saja akan memihak para cukong yang membiayai pencalonannya. Miris memang, sehingga dengan demikian para idealis harus minggir ke tepi-tepi politik pencitraan dan pada akhirnya hanyut dan lenyap terbawa derasnya arus kekuasaan.
Oleh karena itu, demi kebaikan bangsa ini calon pemimpin yang baik tidak akan berani melakukan pencitraan. Politik pencitraan sebenarnya dapat dihindari dengan cara hanya mengemukakan ide dan gagasan dalam program apabila terpilih secara rasional dan realistis. Artinya ide-ide tersebut bukan saja harus menarik tapi juga harus terukur dan konkrit, sehingga akan mampu dijalankan untuk perubahan dan solusi bagi problem yang selama ini dihadapi oleh rakyat. Tapi sayangnya kebanyakan calon pemimpin hanya menawarkan slogan-slogan di baliho dan spanduk yang sangat abstrak serta sulit diukur.
Di samping itu, harus ada kepastian track record calon pemimpin, sehingga masyarakat tahu latar belakang/jejak integritas dan kapabiltasnya. Kualitas pendidikan dan jejak pengalaman menjadi hal penting yang bisa dijadikan alat ukur untuk menilai seorang calon pemimpin itu mampu tidak merealisasikan program-program yang ditawarkan. Tak terkecuali jejak hukum dan sosialnya harus menjadi perhatian serius, karena ini menyangkut nasib masa depan banyak orang yang akan dipimpinnya.
“Mempromosikan calon bukan dengan cara melebih-lebihkannya di media sosial, cetak ataupun elektronik, cukup dengan memberikan informasi curriculum vitaenya kepada masyarakat,” demikian ulas Muhammad Subarkah dalam artikelnya yang berjudul, “Antara Pencitraan dan Kebohongan Publik” yang dimuat dalam Media Republika.co.id. (Kamis, 09 November 2017)
Pemimpin yang berbuat apabila sebelum dia terpilih itu seringkali hanya pencitraan belaka, tetapi pemimpin yang berbuat setelah dia terpilih adalah pemimpin yang berkerja nyata. Pernyataan ini didukung oleh contoh nyata dari beberapa pemimpin dunia modern yang ada saat ini, jadi tidak perlulah kita ambil iktibar pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW ataupun sahabatnya Umar bin Khattab R.A karena hal itu akan sangat sulit untuk diikuti.
Salah satu tokoh yang saat ini hangat diperbincangkan di antaranya adalah Presiden Pantai Gading, Hassan Ouattara, beliau adalah salah satu pemimpin sangat berpengaruh di Benua Afrika. Sebagai seorang presiden beliau tak silau atas pencitraan. Bahkan, Beliau berhaji atas biaya sendiri dan menolak untuk menggunakan dana negara dan termasuk mendapatkan pengawalan dari negara apalagi hak istimewa yang diberikan negara kepadanya. Sehingga tidak heran, bila kesederhaan pemimpin yang satu ini telah membuat rakyat sangat mencintainya. Hassan mampu membawa Pantai Gading pada pada stabilitas keamanan, politik dan ekonomi. serta membaiknya income individu rakyat Pantai Gading.
Lain dengan Ouattara lain pula dengan Jose Mujica, dia adalah pemimpin Uruguay yang sangat sederhana dan miskin bahkan presiden ini lebih memilih tinggal di rumah pertaniannya ketimbang istana kepresidenan. Bagi dirinya, uang dan jabatan tinggi mungkin bukanlah segalanya dan yang lebih istimewa lagi ini dia ucapkan saat dia sudah menjabat bukan saat minta dipilih rakyatnya. Mobilnya pun cuma Volkswagen Beetle warna biru tua keluaran tahun 1987. Tidak ada pengawalan yang berlapis kecuali hanya ditemani oleh 2 orang polisi itu pun bukan dia yang minta.
Lalu adakah pemimpin kita yang menolak fasilitas negara? Atau tidak menggunakan inventaris negara untuk kepentingan pribadi dan golongannya? Sejauh ini ada beberapa pemimpin di Indonesia yang tidak mengambil gajinya dan itu bagus tentu. Tetapi perlu diingat bahwa gaji pokok pejabat di Indonesia itu tidak seberapa dibandingkan tunjangan jabatan dan fasilitas yang dia gunakan. Sebagai contoh gaji Gubernur itu sekitar 8 Juta tetapi tunjangannya bisa mencapai 2.7 M (tergantung kepada PAD masing-masing daerah). Karena itu, mari kita tinggalkan politik pencitraan yang berlebihan demi kontribusi nyata yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat lapisan paling bawah sekalipun.
Discussion about this post