TI – orang yang paham hukum dan keadilan bisa tega melakukan korupsi. Kasus terbaru adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim, seorang panitera, dan seorang advokat – masing-masing seorang – di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pekan ini.
Bukan hal baru. Tak terlalu menggemparkan. Agustus lalu KPK mencokok tiga hakim di Medan, Sumatra Utara. Dua di antara mereka adalah ketua dan wakil ketua pengadilan.
Hakim, jaksa, polisi, dan advokat disebut catur wangsa penegak hukum. Sebutan yang gagah lagi mulia. Ketika tafsir terhadap kebenaran bisa diperjualbelikan, di mana penegakan?
Ketika tafsir terhadap keadilan dapat dipesan, terbuang ke got manakah sebutan lama hamba hukum? Mestinya hanya dan hanya kepada hukum (dan hati nurani, pun keadilan) mereka menghamba.
Lihatlah para tersangka korupsi di KPK.
Sudah menjadi lelucon usang bahwa mereka tampak santai, percaya diri, cengengesan pula; berbeda dari begal motor yang jalan terpincang-pincang karena cedera saat dipaksa menyerah lalu dalam paparan polisi mereka berusaha menunduk terus sedalam mungkin agar sebagian wajah tenggelam di balik kerah baju tahanan yang ditegakkan.
Barangkali para penegak hukum itu perlu dipasangi rompi khusus agar sejarah mencatatnya secara visual.
Tentu tersangka dan terdakwa di KPK ada yang masih menyisakan rasa malu. Fredrich Yunandi, bekas advokat dari koruptor Setya Novanto, Februari lalu protes saat dipasangi rompi KPK menjelang sidang pengadilan. Dia bilang dirinya tahanan pengadilan, bukan tahanan KPK.
“Tetapi, kami dilecehkan di depan wartawan supaya kelihatan tahanan KPK. Ini kan pelecehan. Silakan hakim bikin baju yang ada tulisan tahanan pengadilan, saya lebih bangga,” kata Fredrich.
Dakwaan dan kemudian hukuman unttuk Fredrich bukanlah mencuri uang atau menyuap, tapi menghalangi penyidikan terhadap tersangka korupsi.
Discussion about this post