Oleh : Andi Fery (Alumni The Flinders University of South Australia)
Menurut data yang direlease oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, perhelatan pesta demokrasi Kepala Daerah (Pilkada) pada tanggal 9 Desember 2020 nanti akan diikuti oleh 270 daerah di berbagai wilayah Indonesia, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Dengan demikian dalam waktu yang semakin singkat itu, situasi dan perkembangan politik di berbagai daerah sudah menampakan intensitas yang semakin meningkat. Masing-masing kubu calon kepala daerah sejak beberapa bulan belakangan sudah saling klaim akan dapat memenangkan kontestasi.
Postingan di media-media social pun bermunculan untuk membungkus kandidat-kandidat jagoan mereka dengan pencitraan yang terkesan berlebihan. Para pasangan calon juga tidak ketinggalan, mereka mulai deklarasi sana sini untuk menyisir berbagai lapisan masyakat, tak terkecuali ASN atau PNS.
Aparatur Sipil Negara (ASN) seringkali dijadikan bahan empuk basis masa terutama bagi calon incumbent, karena memang incumbent lah yang mampu menggerakan sumber daya tersebut. Cengkaraman kuku-kukunya sudah sangat kuat dan berakar tunggang.
Hal ini lah yang digambarkan Neni Nuharyati, dalam artikelnya nan berjudul Netralitas ASN Dalam Pilkada 2020, sebagaimana dimuat dalam Kompas.com (05/03/2020), dengan gamblang dipaparkannya, geliat dan mobilisasi ASN secara langsung dan maupun dalam unggahan di media sosial, terlihat memberikan dukungan kepada Petahana yang akan kembali mencalonkan diri. Meski demikian, tidak tertutup juga kemungkin calon-calon di luar Petahana akan memantik minat ASN untuk bersimpati kepada mereka.
Oleh karena itu dalam situasi seperti ini, ASN sebagai pelayan masyarakat haruslah berfikir cerdas dan penuh integritas, sehingga tidak mudah untuk diombang-ambingkan oleh arus kepentingan partai politik dan calon Kepala Daerah yang sering berlayar dengan menggunakan perahu retak atau rapuh.
Lalu kemanakah ASN secara institusi, maupun pribadi harus berpedoman dalam situasi PILKADA seperti sekarang ini?
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah jawabannya. Di dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa ASN yang terdiri atas PNS dan PPPK harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Artinya ASN harus menjaga asas netralitasnya. Oleh karena itu ASN tidak boleh berpihak kepada kepentingan salah satu calon Kepala Daerah. Senada dengan itu, di dalam UU Pilkada ditegaskan bahwa ASN dilarang untuk terlibat dalam kegiatan kampanye serta membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan dan atau merugikan salah satu pasangan calon mana pun.
Sayangnya untuk pesta sekelas pilkada nan notabenenya memilih pemimpin yang tidak hanya pemimpin bagi masyarakat umum di suatu wilayah tertentu, tetapi juga memilih atasan bagi ASN itu sendiri. Sehingga seringkali, politik kepentingan dan traksaksional merupakan suatu hal yang sangat sulit dipisahkan. Walaupun bisa, batasannya pun sangat abu-abu dan terkadang memang dibuat seolah-olah tak terlihat, karena para pemangku kepentingan di negara kita sangat pandai dalam mencari celah untuk mengelak dari jeratan hukum.
Hukum di negara kita biasanya bukannya dilakukan berbagai cara untuk diterapkan, namun dicari seribu satu alasan agar bisa tidak diterapkan, terutama bila itu menyangkut kepentingan para atasan.
Dengan demikian celah inilah sangat mungkin untuk dimanfaatkan oleh para calon Kepala daerah untuk memobilisasi potensi kekuatan ASN. Pasalnya, ASN memiliki posisi yang cukup strategis untuk menjadi mesin politik pemenangan kandidat pasangan calon Kepala Daerah dalam mendulang suara yang cukup signifikan (Gusman, 2017). Bahkan, solidaritas partai pengusungnya pun dapat terkalahkan dikarenakan militansi kekuatan ASN ini, tertutama terhadap pasangan Petahana. Ada beberapa faktor yang membuat kuatnya dukungan ASN kepada Petahana. Salah satunya adalah iming-iming naik jabatan atau naik promosi ketika nantinya sang calon terpilih.
Hal inilah yang membuat ASN sulit untuk netral. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Sri Hartini (2014), di dalam tulisannya dinyatakan bahwa implikasi ketidak netralan ASN adalah karena adanya penempatan jabatan, disebabkan kepentingan politik yang tidak berdasar kompetensi, namun lebih karena faktor mariage system atau dikarenakan ada kedekatan tertentu bukan merit system. Sehingga tidak jarang penunjukan ASN pada jabatan tertentu terkesan asal rekrut saja dengan tidak mempertimbangan asas “the right man on the right job” sehingga tidak heran misalnya di suatu wilayah tertentu di Indonesia ada jabatan kurikulum pendidikan tapi malah dipegang oleh Sarjana Peternakan.
Miris memang di tengah banyaknya para sarjana pendidikan yang memiliki kompetensi mumpuni, tapi mereka malah tidak digunakan dengan baik. Sebaliknya, banyak juga yang berlatar belakang pendidikan tapi malah berkarir di Dinas lain, misalnya Dinas Perhubungan. Memang ini tidaklah salah, namun alangkah bijaknya kalau mereka berada pada latar belakang pengalaman dan pendidikan yang sesuai, sehingga para ASN tersebut dapat melakukan pekerjaannya dengan baik (do the things right).
Ketidak netralan ASN itu sebagian besar disebabkan karena proses rekrutmen jabatan nan tidak sesuai dengan jenjang karir yang semestinya. Jabatan seringkali tidak diperoleh dari kriteria yang telah dipenuhi oleh ASN itu sendiri. Tapi yang sering terjadi adalah mereka diangkat di posisi itu hanya karena mereka mempunyai andil terhadap terpilihnya pasangan tertentu dan bukan karena kualifiaksi atau keterampilan mereka (Sumintono dkk, 2015)
Permasalahan berikutnya adalah, posisi ASN cenderung dilematis, di satu sisi dituntut untuk bekerja secara profesional. Namun di sisi lain, posisi ASN sebagai bawahan tidak bisa melawan instruksi atasan. Hal ini dikarenakan pemimpin sering kali sudah tidak lagi menjadi pelayan rakyat, tapi sudah menjadi orang yang harus dilayani, karena itu tidak salah kalau Irawanto, Ramsey, dan Tweed (2012) menyatakan bahwa kepemimpinan di Indonesia jauh lebih authoriser dan tidak fleksibel.
Para pemimpin dan atasan adalah orang-orang yang tidak bisa dihadapi atau dikonfrontasi. Menentang atasan itu tabu dan tidak bisa dinegosiasikan. Inilah yang di masa orde baru sering disebut dengan “monoloyalitas” dan asas inilah nan merusak netralitas birokrasi di Indonesia sampai sekarang.
Oleh karena itu netralitas ASN akan menjadi salah satu kunci kerberhasilan dalam memilih pemimpin yang benar-benar layak dalam memimpin. Ide pembaharuan yang menjunjung tinggi sportifitas dari seorang calon Pemimpin Daerah, sangat kita harapkan.
Salah satu ide inovatif yang layak kita nantikan adalah, tidak melibatkan ASN dalam pusaran politik para calon Kepala Daerah yang akan maju di pilkada serentak 2020 ini. Karena ketidak netralan ASN tersebut, tentunya akan bisa merusak tatanan kehidupan birokrasi di daerah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih “clean and good governance” sehingga dengan demikian ASN nan professional dan berkualitas, dapat direalisasikan dengan baik dan bukan hanya menjadi slogan pepesan kosong belaka.
Discussion about this post