By : Dr Emeraldy Chatra
Sebagaimana diakui oleh Walter Lippmann, opini publik adalah sesuatu yang dikonstruksi, dibangun bahkan dimanipulasi untuk kepentingan tertentu (McNair, 1999: xi). Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa, opini publik merupakan bagian dari rekayasa politik, dinamika komunikasi kelompok tertentu, dan sangat erat kaitannya dengan perkembangan media massa dan publikasi.
Dengan sendirinya, opini publik merupakan penghubung kegiatan politik dengan kegiatan media dalam atmosfir demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Opini publik sangat penting bagi aktivitas politik, karena berpotensi menggiring konstituen kepada pilihan-pilihan tertentu ketika memberikan suara (dalam pemilu/pilpres/pilkada). Tapi opini publik bukanlah pandangan yang memunculkan dari seluruh konstituen, melainkan hanyalah dari mereka yang terlibat dalam berbagai diskusi dan debat-debat terbuka serta mendapat terpaan media. Dalam masyarakat yang tidak memiliki kebebasan berbicara, opini publik tidaklah penting bagi proses politik.
Opini publik disebut oleh Jürgen Habermas sebagai public sphere, yaitu sebuah “ tension-charged field between state and society ”, sebuah ruang terbuka yang meredakan ketegangan antara penguasa dengan rakyat. Menurut Habermas, istilah opini publik pertama kali muncul tahun 1781, sebagai bentuk refleksi kritis dari kelompok borjuis yang membentuk penilaian-penilaian mereka sendiri (McNair, 1999: 19, Habermas, 1992).
Dalam pandangan Habermas, opini publik adalah pandangan kelompok khusus (elite/borjuis/kelas menengah) yang berpengaruh pada atmosfir politik secara keseluruhan. (lihat Koller & Wodak, 2008:2). Sebagai sebuah ruang terbuka yang berfungsi meredakan ketegangan, opini publik masuk ke wacana politik sebagai ‘pesan publik yang harus diperhatikan oleh organisasi.
Sejalan dengan perkembangan media komunikasi, sekarang opini publik melibatkan media-media sosial berbasis internet. Dengan karakter interaktif yang melekat pada media social. Sifat diskusi dan perdebatan publik yang membentuk opini public, mulai bergeser dari komunikasi tatap muka menjadi komunikasi bermedia. Di Indonesia, sejak media sosial memperoleh popularitas, diskusi dan debat publik sering terjadi di Facebook, Twitter, atau WhatsApp.
Pergeseran bentuk komunikasi tersebut, menyebabkan munculnya wujud diskusi dan perdebatan yang belum dikenal sebelumnya. Bahkan lebih sengit dan terkadang brutal, dengan melibatkan lebih banyak orang, dan tidak lagi dimonopoli oleh kelompok menengah, sering kehilangan karakter intelektual, serta tidak terikat kepada jarak geografis.
Akibat dari pergeseran tersebut, bukan hanya cara-cara memanipulasi opini publik yang mengalami penyesuaian, tapi juga menjungkirbalikan pengertian publik yang sudah terbangun sejak tahun 30-an, akibat munculnya terminologi yang tidak mudah didefinisikan, yaitu public-cyberspace (lihat Graham, 2008:50)
Selanjutnya bergesernya bentuk komunikasi public, menyebabkan formulasi pembentukan opini publik melakukan pembaruan. Pola lama yang semata-mata mengandalkan media massa, penyebaran bahan cetakan (buku, pamflet, poster) dan diskusi terbatas yang bersifat formal. Sekarang harus di iringi dengan pemanfaatan media-media sosial, dengan cara-cara yang khusus.
Teknik Menggalang Opini Publik
Membangun dan mempengaruhi opini publik merupakan tugas penting bagi Public Relations politik, yaitu sebuah bagian dari organisasi (partai, ormas atau institusi pemerintah) yang secara khusus dibentuk untuk mengelola hubungan organisasi dengan publik, termasuk media. Outcome dari tugas tersebut adalah munculnya opini publik yang berpihak dan memberi dukungan kepada organisasi.
Public Relations membangun dan mempengaruhi opini publik melalui karakter yang bagus dan bertanggungjawab, berpijak pada prinsip komunikasi dua arah yang bersifat saling memuaskan (Palaniappan & Ramachandraiah, 2015).
Menurut Palaniappan & Ramachandraiah (2015), ada empat langkah yang harus dilakukan Public Relations, yaitu:
Research-listening: Yaitu mencari tahu bagaimana opini, sikap dan reaksi yang timbul akibat aksi dan kebijakan organisasi, kemudian mengevaluasinya. Tugas ini berusaha menjawab pertanyaan, “Apa masalah kita?”
Planning-decision making: Membawa sikap, opini, ide dan reaksi yang diketahui itu ke dalam perencanaan program organisasi.
Communication-action: Menjelaskan dan mendramatisasi isu-isu tertentu yang telah ditetapkan, seakan mengatakan kepada publik, “Inilah yang telah kami kerjakan dan ini alasannya”.
Evaluation: Memeriksa secara saksama hasil dari program, terutama efektivitas dan teknik yang telah digunakan. Ini menjawab pertanyaan, “Bagaimana kegiatan itu dilakukan?”
Cara-cara membangun serta mempengaruhi opini publik yang selama ini dipraktekan oleh praktisi Public Relations adalah:
Mengangkat ke permukaan suatu isu melalui agenda setting bekerja sama dengan pihak media massa (televisi atau media cetak).
Memaparkan isu atau topik tersebut kemudian diperdebatkan dan mencarikan jalan keluarnya. Mengarahkan atau menggiring isu atau topik tersebut ke arah pemecahan agar dapat diterima.
Setelah media sosial sukses mendoktrin masyarakat. Penggelontoran isu publik tidak hanya menggunakan media massa konvensional, tapi juga dengan mengunggah berbagai wacana ke media-media sosial yang banyak dipergunakan kalangan.
Agar publik dunia maya ( public cyberspace ) tidak menyadari kalau mereka sedang dikondisikan untuk memperdebatkan sebuah isu publik . “Public Relations” tidak jarang menggunakan situs pewarta yang banyak dikunjungi masyarakat, tapi tidak dilengkapi keterangan terhadap afiliasi politiknya, atau membuat page khusus di Facebook dengan identitas yang samar. Kemudian mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk saling berbagi pandangan.
Penggunaan media sosial biasanya dipimpin oleh seorang spin doctor, yaitu seorang ahli pembentuk opini publik yang memimpin sebuah tim yang terdiri dari ahli strategi komunikasi, ahli IT, ahli Public Relations, ahli politik, bahkan _hacker (peretas).
Penutup
Sebagai simpulan, opini publik tidak dapat dilepaskan dari aktivitas organisasi, terutama sekali organisasi politik. Opini publik berguna untuk menggiring publik kepada pilihan tertentu, sesuai dengan kehendak para pembangun opini. Dengan demikian, opini publik adalah produk dari sebuah usaha rekayasa yang melibatkan media, Public Relations, dan sekarang melibatkan para pakar internet (IT).
Dengan berkembangnya internet menjadi media sosial, maka teknik-teknik pembentukan opini publik menuntut pembaruan. Teknik konvensional yang mengandalkan media massa perlu disempurnakan, agar tujuan dapat tercapai secara efektif.
Referensi*
Palaniappan, S.N. & Ramachandraiah, S.A.M. 2015. Training Programme On Public Relations. Module preparation sponsored by UNDP / DOPT, Government of India. Chennai: Anna Institute of Management
McNair, B. 1999. An Introduction to Political Communication. Second Edition. London & New York: Routledge
Habermas, J. 1992. ‘Civil Society and the Political Public Sphere’. Dalam Craig Calhoun (ed.), Habermas and the Public Sphere , hal. 421–461. Cambridge, MA: MIT Press.
Koller, V. and Wodak, R. 2008. ‘Introduction: Shifting boundaries and emergent public spheres’. Dalam Ruth Wodak dan Veronika Koller (eds.), Handbook of Communication in the Public Sphere , hal 2. Berlin -New York: Mouton de Gruyter •
Graham, P. 2008. ‘Public space, common goods, and private interests: Emergent definitions in globally mediated humanity’. Dalam Ruth Wodak dan Veronika Koller (eds.), Handbook of Communication in the Public Sphere , hal 50. Berlin -New York: Mouton de Gruyter •
Discussion about this post