By : DR. Emeraldy Chatra
Target Indo – Istilah Minang Kantau itu saya buat sebagai tanda khusus keturunan orang Minangkabau yang tidak punya modal adat dan agama. Hidup tak bermodal sama saja dengan tak berpenuntun, akhirnya hidup seenak perut saja.
Tapi teman di Tenabang (Tanah Abang) yang berprofesi sebagai tukang kantau ( broker atau calo) agak kurang senang dengan istilah itu. Mereka merasa dipojokan. Keberatan mereka itulah yang ingin saya respon melalui tulisan ini.
Mengantau atau menjadi broker berawal dari kata kantau. Ini mungkin istilah dari Cina. Sebuah kata pada dasarnya netral saja; ia akan berbeda apabila diberi makna yang berbeda. Kata anjing bila dimaknai sebagai binatang yang setia ia jadi positif, tapi kalau dimaknai sebagai binatang yang jilatannya najis, maknanya tidak sama dengan yang pertama.
Demikian juga istilah kantau . Ia baru bermakna kalau dikaitkan dengan objek yang dikantau. Mengantau barang halal untuk mencari rezeki untuk dimakan anak istri tentu positif. Tapi kalau mengantau narkotika atau barang-barang curian bagaimana? Mengantau tanah pusako orang Minangkabau bagaimana pula?
Esensi dari kantau adalah memperantarai sebuah transaksi. Pengantau atau tukang kantau tidak punya modal (uang), hanya bermodal kepercayaan. Hasil dari pengantauan ia dapat komisi.
Istilah Minang Kantau yang saya kemukakan tidak bermaksud menyudutkan kawan-kawan yang menjadi tukang kantau di mana saja di muka bumi ini. Istilah ini khusus untuk menyebut keturunan Minangkabau yang tidak punya modal adat dan agama. Dilihat dari kaca mata orang Minangkabau para Minang Kantau ini tentu bukan orang baik-baik. Tapi dari kaca mata orang yang senang melihat Minangkabau bangkrut, tentu sebaliknya.
Apakah ada orang yang suka dengan sifat Minang Kantau? Banyak. Banyak yang senang melihat keturunan Minangkabau hidup tanpa adat dan tidak kaffah dalam beragama. Kalau mereka mempraktekan adat dianggap kuno, kalau kaffah beragama dianggap ekstrimis, fundamentalis, berpotensi jadi teroris. Minang Kantau dianggap modernis atau agen perubahan.
Oleh karena tidak bermodal adat dan agama, para Minang Kantau mempunyai prilaku yang serba terbalik dengan yang diajarkan adat dan agama. Misalnya, bila Islam mengajarkan silaturahmi, mereka menyukai perpecahan. Ungkapan ‘basilang kayu dalam tungku’ sangat mereka sukai karena itu memicu perpecahan.
Mereka juga suka berkhianat kalau diberi kepercayaan. Diajak berbisnis mereka melariskan modal kawan tanpa rasa bersalah. Padahal dalam Islam perbuatan itu diidentifikasi sebagai perbuatan orang munafik: dipercaya ia khianat. Tapi Minang Kantau menganggapnya sebagai kecerdikan.
Di antara perbuatan Minang Kantau yang perlu dikecam adalah mengantau tanah pusako urang Minangkabau untuk diserahkan kepada orang dari luar Ranah Minang yang bukan muslim, bahkan tidak jelas kewarganegaraannya. Mereka pura-pura menjadi pembeli tapi sebenarnya mereka membeli untuk yang memodali.
Populasi Minang Kantau ini makin banyak karena jauhnya mereka dari tuntunan adat dan agama. Mereka tidak punya kesetiaan sedikit pun kepada etnisnya. Bagi mereka yang penting duit masuk ke kantong. Apakah perbuatan mereka akan menghancurkan Minangkabau sebagai sebuah kebudayaan mereka tidak peduli.
Para Minang Kantau ini berbahaya karena mereka beranak pinak. Tidak mungkin Minang Kantau akan mengajarkan adat Minangkabau dan agama Islam kepada anak-anak mereka. Kebiasaan sehari-hari dalam hidup menyebabkan mereka pasti mengajarkan pragmatisme, hidup tanpa modal yang menuntun kepada kebaikan.
Minang Kantau ada dalam berbagai profesi. Mereka mungkin jadi dosen, guru, pengacara, pedagang, dokter, dll. Sebagai orang-orang yang tak punya modal adat dan agama mungkin mereka beralasan karena kurang dapat pelajaran dari orang tua. Tapi ada juga yang ‘membuang modal’; artinya waktu kecil diajari bagaimana menjadi orang Minangkabau dan jadi muslim, tapi karena otaknya dicuci (di- brainwash) oleh para anti adat dan agama mereka pun jadi orang-orang tak bermodal lagi.
Discussion about this post