Oleh : Yohandri Akmal
Setelah menempuh perjalanan melawati medan berlumpur, terasa cukup sulit untuk dilalui menuju kampung tersebut. Akhirnya kamipun tiba di sana.
“Kemana rencananya Wil?” Kata Rudy.
“Ke rumah Ibu Yunita bang, sedikit lagi ke atas”, jawab Willy.
Saat itu aku dan Akmal hanya bisa mengikuti petunjuk jalan dari Willy. Jalanan berlumpur terpaksa dijelajahi. Suara burung terdengar menghibur telinga, udara lembab membuat terik matahari tidak begitu terasa.
Menurutku aneh, padahal di lokasi ini berdiri perusahaan perekat begitu besar. Mengapa masih saja ada jalan menuju perkampungan yang amburadul. Entahlah. Di dalam hati, aku terus menggerutu tidak karuan, dengan situasi dan kondisi kampung yang memprihatinkan.
Dari depan, terlihat motor Willy berhenti. Dan kami mendekatinya.
“Ini dia rumahnya”, Willy menunjuk gubuk buruk.
Aku tercengang melihatnya, kukira itu kandang kambing, ternyata rumah penduduk. Aku merasa berdosa beranggapan seperti itu sebelumnya, tapi hal yang tidak kusangka-sangka kelihatan jelas di mataku.
Ketika motor kuparkirkan di tepian sebuah semak, mataku tetap tertuju ke pondok kecil itu. Dari pintunya, aku melihat anak kecil keluar tanpa baju. Bocah lelaki itu kira-kira berumur tiga tahun, perutnya buncit, kepalanya botak berkudis. Muka anak itu kusam sekali, pipinya berlepotan tanah, terlihat sangat kotor.
Lalu sesaat kemudian, seorang wanita bercelana pendek keluar dengan kaos berlogo partai politik berwarna merah. Bergambar salah satu kandidat legislatif. Artinya pakaian yang ia pakai adalah kaos pembagian.
Dia menyapa kami, terutama Willy.
“Dari mana Pak Willy?” kata ibu itu.
“Kawan-kawan ini pengen ketemu langsung dengan ibu Yunita”, ucap Willy mengajak kami duduk ke bangku-bangku kecil di depan pondok.
Aku baru tahu ternyata inilah Ibu Yunita yang telah kami beritakan.
“Selamat siang, mohon maaf kami mengganggu. Kami hanya ingin silaturahmi saja”, kataku.
“Ya pak, maaf rumah saya seperti ini”.
“Tidak apa-apa buk, karena inilah yang membuat kami datang ke sini”.
“Oh ada pak Rudy juga rupanya, kemana aja pak, kok tidak pernah kunjungi kami lagi”, kata ibu itu memelas.
Rasa penasarankku semakin tinggi, mengapa ibu ini kenal dengan Rudy. Ada apa sebelumnya antara Rudy dengan ibu ini.
“Maaf buk, saya tidak aktif lagi di CSR. Makanya kami tidak bisa kunjungi ibu”, jawab Rudy terlihat akrab dengan Yunita.
Mendengar hal itu, aku semakin yakin Rudy dan Sinda sangat erat kaitanya dengan persoalan ini. Saat itu, Sinda mengeluarkan gula dan kopi yang dibawanya, akupun heran mengapa mereka bawa perbekalan. Dugaanku, mungkin Bundo sudah memberitahukan kedatangan kami ini sebelumnya ke mereka itu.
“Nih buk, seperti biasanya kami bawa gula dan kopi, kami masih seperti yang dulu memperjuangkan nasib orang-orang seperti ibu. Hanya saja kali ini kami tidak melalui perusahaan, tapi akan berusaha mendorong perusahaan untuk lebih bisa membantu masyarakat kecil seperti ibu. Dengan cara apapun lah buk, yang penting masyarakat susah di sekitar ini tidak ada lagi”, ungkap Rudy sambil menyodorkan bawaanya ke ibu Yunita.
Kemudian wanita berumur sekitar 50 tahun itu mengambilnya dan langsung masuk ke dalam pondoknya.
“Bocah itu cucunya ya bang?” tanyaku ke Rudy.
“Bukan,…itu anaknya. Bu Yunita ini baru berumur 31 tahun”, ujar Rudy.
“Apaaaa? 31 tahun?”. Cengangku.
Tidak kusangka ternyata perkataan Rudy itu membuatku tertegun, rupanya Yunita masih sebayaku tapi wajahnya terlihat sudah tua sekali. Tak terbayangkan olehku sebelumnya, menurutku penderitaan yang dialaminyalah sehingga membuat dirinya menjadi tua. Dia sepertinya enggan mengurus fisiknya sendiri.
Hatiku teriris mengetahui hal ini, rasanya ingin pulang saja, tak sanggup melihat semuanya. Apakah malaikat lupa memberitahukan penderitaan mereka kepada Tuhan? Kenyataan ini membuat pikiranku semakin ngawur. Melihat mereka saja sudah membuatku tertekan.
Waktu sore sudah mendekati, tiba-tiba cuaca tidak bersahabat. Semulanya terik matahari menyengat lalu langit berubah menjadi mendung. Awan hitam tampaknya akan menurunkan hujan, ternyata benar dugaanku, hujan lebatpun turun tanpa kompromi.
Kami semua terpaksa berteduh di pondok tiris itu. Sembari menunggu hujan reda, Rudy menceritakan pengalaman yang tidak terpikirkan sama sekali olehku. Dia bercerita bagaimana perjuangannya sebelum kami. Ceritanya lebih menyayat lagi bahkan….
Bersambung…
Discussion about this post