By: Yohandri Akmal
“Bukitnya Terkikis Hatinya Teriris”
Meskipun hujan di tengah malam mencekam, jaket parasut membantu menghangatkan badan. Dinginnya seakan tak berasa. Jaket hitam yang ku kenakan jadi pahlawan menyelimuti rasa dingin ditubuh gemukku. Dalam keheningan malam, Rudy mulai menceritakan pengalaman dahulunya bersama warga bukit karang, kisah itu mambantu menghangati kami dimalam yang sangat dingin. Silih berganti kisah mengharukan dipaparkan Rudy, sungguh memilukan kudengar ceritanya. Akmal pun terpelongok mendengarkan.
Tiga tahun nan lalu, sebagai aktivis muda. Rudy kerahkan seluruh energinya untuk membantu warga disini. Perannya menjadi perpanjangan tangan membantu masyarakat untuk kelancaran hubungan kemasyarakatan antara CSR perusahaan besar itu dengan warga sekitar.
Cerita yang paling mengharukan kedengar, ketika Rudi bersama warga membangun jalan dan jembatan di kampung ini.
Bibir Rudy komat kamit menuturkanya, kondisi perkampungan terisolir di kaki bukit karang ini sungguh meresahkan. Negerinya kaya kapur sementara jalan mereka becek berlunau. Ironisnya jalan itu merupakan akses utama warga untuk keluar masuk kampung. Keadaan sedemikian membuat hatinya terbakar, sehingga dirinya mengajak orang-orang untuk bekerja bersama membangun jalan kampung miskin timbulun. Dengan dukungan dari pihak luar, baik dari perusahaan maupun perorangan.
Sebelum pekerjaan dilaksanakan, dari manakah dananya? Itulah yang terpikirkan di benak Rudy bersama warga dulunya. Namun dengan matang mereka merencanakan pencarian dana sebanyak-banyaknya agar pekerjaan itu menjadi nyata. Akhirnya kesepakatan demi kesepakatanpun dibuat. Pihak perusahaan besar itu mau membantu namun hanya dalam bentuk semen saja, tidak lebih dari itu. Lalu bagaimana dengan operasionalnya? Pasirnya? Dan bahan-bahan lainnya?. Dengan ikhlas penuh syukur Rudy dan warga menerima saja daripada tidak ada sama sekali bantuan luar itu.
Kemudian, Rudy berhasil merekrut bundo Sisilia sebagai pendana untuk melancarkan pekerjaan pembetonan jalan setapak selebar satu meter. Dana dibutuhkan untuk perbekalan konsumsi para pekerja dan insentif meskipun sedikit tapi harus diberikan. Nah, dapatlah semuanya. Pekerjaanpun segera dimulai.
“Dengan dana seadanya, perlahan-lahan pekerjaan pembetonan jalan kampung di kaki bukit karang terselesaikan seadanya pula, yach sekian ratus meterlah ,” jelas Rudy mengisahkan.
Aku cukup salut dengan perjuangan Rudy untuk kampung ini, termasuk kegigihannya membangun jembatan.
“Pembangunan jembatan besi sekira tiga meter itu diselesaikan dengan dana swadaya masyarakat juga, namun dananya kebanyakan berasal dari warga luar kampung miskin ini, perusahaan besar itu membantu dengan besi bekasnya” tuturnya melanjutkan.
Sekitar satu jam lamanya Rudy terus memaparkan kepeduliannya terhadap kampung ini. Perjuangan panjang bersama kawan-kawannya membangun jembatan dikisahkan secara detail. Singkat cerita, ada yang lebih menarik menurutku. Seorang tokoh nagari bergelar profesor menyumbangkan banyak uangnya demi tersudahi pembangunan jembatan itu.
Namun dari sekian banyak kisah yang dituturkannya. Ternyata ada yang lebih membuat aku terpelangak ternganga. Tempat ibadah masyarakat di kampung ini hanya memiliki satu buah Musholla kecil saja, itupun dalam keadaan rusak. Sedihnya, telah bertahun-tahun warga tak mampu memperbaiki sehingga tak dapat dimanfaatkan lagi. Memiriskan, sungguh membuat hatiku menjadi pilu. Kenapa bisa begitu..?, mengapa perusahaan besar itu tidak membantu kampung miskin ini. Kasihan mereka, tak miliki lagi tempat untuk beribadah bersama, tak lagi punyai mushalla tempat anak-anak belajar mengaji, tak lagi miliki tempat mereka melaksanakan ibadah sholat tarawih jika ramdahan tiba nanti. Sungguh hati mereka teriris seiring bukitnya terkikis
Malam semakin larut, hujan pun tak kunjung reda. Tak terasa mata ku mulai redup mengajak raga istirahat tidur sejenak. Di bale kayu pondok rumah tiris yang sudah tua namun mampu membantu badan ku yang sudah terasa lelah, terkapar tidur pulas memasuki alam dunia maya.
Bangun..bangun.. suara Rudy mengusik tidurku, sontak saja aku pun terjaga.
“Hujan sudah reda Bud, tuh langit terang dan bersahabat, mendingan kita pulang aja” tutur Rudy mendesak.
Aku merasa tidurku hanya sekejap saja. Serentak kami pun beres-beres bersiap-siap pulang. terlihat Sinda lebih dulu beranjak melangkahkan kakinya.
“Bu Yun kami pulang dulu, terimakasih atas bantuan nya, kami minta maaf kalau kedatangan kami merepotkan ibu” tutur Willy dengan sopannya.
“Ggak apa-apa kok.., justru saya sangat merasa tersanjung atas kedatangan bapak-bapak kegubuk buruk saya ini” balas suami Yuni dengan hati ikhlasnya.
“Sampai ketemu lagi bu, lain waktu mungkin kami bakal mampir lagi” balas Willy sembari menyalaminya.
Aku pun ikut serta menyalami, begitu juga Akmal, Rudy dan Sinda. Selanjutnya kami bersama serentak menaiki motor masing-masing, dihidupkan menandakan perjalanan pulang dimulai. Entah kenapa, Willy baru sadar. Lampu motornya tidak bisa dihidupkan karena bohlampnya sudah putus. Sementara jalan buruk berlunau yang bakal kami lewati sepanjang kampung ini sangatlah gelap, lampu jalan pun tidak ada.
“Begini Wil, Kalau lampu motormu tidak hidup, mendingan posisimu dibelakang Rudy aja, aku dibelakangmu” usulku.
“Oke bang..” sahut Willy.
Kami bersama memulai perjalanan. Willy berada sekitar tujuh meter didepan motorku, jalan buruk gelap gulita ini membuat aku sedikit ketakutan, tanpa henti otakku berfikir. Bagaimana dengan mereka..? kenapa mereka betah tinggal di kampung gelap terisolir begini. Bodoh sekali kalian..! percuma negeri kalian kaya raya tapi hidup sengsara, percuma perusahaan besar mengolah kekayaan tanah leluhurmu tapi tak menikmati apa-apa.
Hasratku berkata “Bukitmu Terkikis Hatimu Teriris”.
Bruuuk… suara aneh terdengar ditelingaku, seketika langsung ku pandangi. Spontan saja aku pun tersontak kaget. Willy dengan motornya terpelosok kecebur masuk sawah, tepat di jalan bengkolan patah itu..
Bersambung ……
Discussion about this post