Oleh : DR. Emeraldy Chatra
Gejolak kebencian terhadap poligami kembali dirasakan di berbagi daerah di Indonesia sejak akhir September 2006 setelah tersebar luas kabar pernikahan kedua dai tersohor KH Abdullah Gymnastiar. Penceramah agama yang biasa dipanggil Aa Gym diberitakan hampir oleh seluruh media cetak dan elektronik di Indonesia telah menikah lagi dengan Alfarini (Rini), seorang janda beranak tiga.
Kasus ini makin menjadi perhatian publik setelah Aa Gym dipanggil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintah mengumumkan rencana pengetatan aturan poligami. Pemanggilan ini mengherankan banyak pihak karena pemerintah terkesan sangat reaktif menanggapi perkawinan kedua Aa Gym.
Sikap benci terhadap tindakan Aa Gym dapat dirasakan pada tiga area: media massa, pesan-pesan pendek telepon seluler (SMS) dan jaringan internet. Kebencian yang bergejolak di ketiga area ini berpotensi menyebar kemana-mana untuk menciptakan kebencian massif. Namun hingga awal Desember 2006 gejolak itu belum menimbulkan kerusakan pada aktivitas bisnis kelompok Daarut Tauhid, pesantren yang dipimpin Aa Gym. Pemasaran produk-produk Daarut Tauhid berlabel MQ (Manajemen Qolbu) berjalan seperti biasa.
Media massa, terutama televisi merupakan entitas yang paling aktif dan paling kuat dalam menyebarkan perasaan benci. Televisi menyebarkan kebencian dengan 1. memberi contoh tindakan, 2. menyeragamkan perasaan, 3. memposisikan anak dan perempuan, 4. menciptakan keragu-raguan, dan 5. penyerangan pribadi.
Sementara SMS yang tidak jelas asal-usulnya melakukan penyerangan pribadi dan menganjurkan boikot terhadap ceramah-ceramah Aa Gym. Tindakan yang sama juga dilakukan penulis-penulis yang tidak menyetujui tindakan Aa Gym di jaringan mailing list.
Tulisan ini selanjutnya berusaha menjelaskan mengapa media begitu reaktif terhadap fenomena Aa Gym. Sementara fenomena Yahya Zaini-Maria Eva (YZ-ME) yang substansinya adalah perzinahan mendapat reaksi yang lebih lunak, bahkan ada upaya mengalihkan substansinya dari zina ke pemerasan.
Fenomena YZ-ME muncul pada saat hamper bersamaan dengan fenomena Aa Gym. Rekaman video perzinahan YZ-ME beredar luas di tengah masyarakat Indonesia, bahkan konon sampai luar negeri. YZ adalah seorang anggota DPR dari Fraksi Golkar, mantan Ketua HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan Ketua Seksi Kerohanian Golkar. Sementara ME adalah penyanyi dangdut yang juga aktif dalam kelompok pengajian Din Syamsudin, Ketua DPP Muhammadiyah.
Keberpihakan Kepada Feminisme
Keberpihakan media massa di Indonesia kepada feminisme (bukan kepada nasib perempuan) sebenarnya telah terdeteksi sejak lama. Media sering menggunakan jargon-jargon yang keluar dari feminisme seperti “budaya patriarki”, “bias jender”, “kesetaraan jender”, “PSK (Pekerja Seks Komersial)”, “sensitif jender”, “kekerasan terhadap perempuan”, “seksisme”, “obyek seks”, dsb.
Media juga sangat sering mengutip statement dari aktivis feminis yang memposisikan perempuan sebagai kaum yang tertindas oleh budaya patriarki (implisit: laki-laki) dan berusaha membangun hubungan permusuhan dengan tindakan atau produk pikiran yang diklaim berasal dari kaum laki-laki.
Poligami adalah salah satu isyu yang sensitif dalam perspektif feminisme karena dianggap sebagai produk budaya patriarki yang menyakiti perempuan. Bahkan poligami diklaim sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang selayaknya dihapuskan.
Reaksi kaum feminis yang cenderung berlebihan terhadap fenomena Aa Gym menunjukkan bahwa feminisme tidak hanya meletakkan poligami sebagai isyu sensitif, malah pada posisi sentral. Reaksi aktivis feminis terkesan begitu emosional sehingga mengabaikan nilai-nilai kepatutan dalam berkomunikasi di depan khalayak massa (antara lain menyerang secara pribadi dan mengeluarkan kata-kata vulgar).
Dari beberapa acara dialog yang ditayangkan televisi Indonesia dapat disaksikan aktivis feminis tidak mempunyai keraguan untuk mengedepankan tafsiran terhadap Al-Quran dan Hadits menurut perspektif dan selera mereka bahwa pada intinya Islam tidak membolehkan poligami karena kebolehan itu disertai dengan persyaratan berat, sehingga hanya para nabi yang sanggup melaksanakannya.
Di pihak lain para pendukung poligami berargumentasi bahwa poligami itu halal meskipun syaratnya berat. Berbeda dengan para aktivis feminis, dalam logika pendukung poligami persyaratan yang berat tidak menyebabkan sesuatu menjadi tidak boleh. Namun para aktivis feminis tampaknya tidak dapat menerima logika seperti itu dan bersikukuh menegaskan “yang syaratnya berat itu berarti tidak boleh”.
Tafsir bebas terhadap teks dan logika adalah dua ranah penting dalam struktur argumentasi kaum feminis. Ranah inilah yang dipopulerkan melalui berbagai wacana media, agar penganut Islam meyakini bahwa poligami itu hukumnya haram. Atas premis itu, kaum feminis melihat Aa Gym telah melakukan perbuatan haram dan merusak. Lebih lanjut kaum feminis menggunakan penampilan mereka di media untuk mendesak negara memberlakukan hukum yang lebih ketat dan tegas terhadap pelaku poligami.
Tuntutan terhadap campur tangan negara ini tanpa disadari kaum feminis telah membuka tabir rahasia keinginan mereka yang sebenarnya, berikut skenario yang sedang dijalankan. Pada beberapa dialog televisi tentang “Perda Bernuansa Syariah” pada pertengahan 2006 aktivis feminis berusaha mengkritik peraturan yang mengharuskan perempuan memakai jilbab dengan argumen “mensekularisasi agama” dan “mencampuri urusan privat”. Tapi ketika seorang laki-laki, terlepas dari posisinya sebagai public figure atau tidak, menikah untuk kedua kali, kaum feminis menghendaki terjadinya “sekularisasi agama” dan intervensi terhadap hak privat. Inkonsistensi ini menunjukkan orientasi berpikir dan artikulasi kepentingan kaum feminis terkungkung oleh kepentingan tertentu.
Yang menarik diperhatikan adalah ketertarikan media kepada persoalan perempuan cenderung hanya kepada masalah poligami. Sementara masalah lain yang tak kalah peliknya, seperti rendahnya upah buruh perempuan, pelecehan seksual di tempat kerja, eksploitasi perempuan di sektor hiburan, eksploitasi buruh migrant perempuan (TKI), aborsi yang mencapai 2,6 juta per tahun atau 300 per menit justru tidak menjadi perhatian besar. Kasus-kasus ini biasanya hanya muncul dalam berita selama beberapa detik.
Beberapa tayangan televisi mengenai hiburan malam memang memperlihatkan kinerja perempuan pelacur, namun tidak mempunyai konteks pembelaan, melainkan ikut serta melakukan eksploitasi untuk kelarisan program tersebut. Hal ini terbaca dari tidak munculnya wacana seputar “ikatan hutang” antara pelacur dengan mucikari, proses rekrutmen yang seringkali diiringi teror, potongan upah yang sangat besar, perlakuan kasar dari mucikari dan pelanggan, dan sebagainya.
Alih-alih menyuguhkan acara yang mencerminkan ketertarikan media kepada kompleksitas masalah perempuan, apalagi menerima poligami sebagai realitas perkawinan yang normal dan sah menurut hukum Islam, media justru menjalankan fungsi sebagai alat propaganda untuk memerangi poligami.
Kesamaan prilaku media dengan isyu yang diusung para aktivis feminis menandakan adanya hubungan yang misterius diantara media dengan feminisme. Melalui berbagai mata acaranya media, khususnya televisi, mengajarkan antipoligami setidaknya melalui lima pola tindakan kepada khalayak pemirsa, yaitu 1) memberi contoh tindakan, 2) menyeragamkan perasaan 3) memposisikan anak dan perempuan 4) menciptakan keraguan dan 5) penyerangan pribadi.
Wacana yang dikembangkan media pada umumnya membawa masalah poligami hanya pada tataran agama (Islam). Oleh sebab itu dalam berbagai dialog televisi maupun liputan media cetak persoalan poligami selalu “dihadang” dengan prinsip-prinsip agama. Narasumber yang dihadirkan pun pada umumnya pemuka agama atau pakar bidang keagamaan dan para aktivis feminis di pihak lain. Nampaknya media kurang menyadari, atau boleh jadi dengan kesengajaan, bahwa setting dialog seperti itu tidak hanya berdampak pada pengertian masyarakat tentang poligami, tapi juga terhadap kredibilitas para pemuka agama yang dicitrakan sebagai pendukung budaya patriarki karena umumnya mereka tidak bersikap anti terhadap poligami.
Fokus perhatian media kepada aspek relijius dari poligami menyebabkan perspektif di luar agama tidak pernah berkembang. Padahal, praktik poligami, seperti halnya poliandri, tidak selalu berbasis hukum agama, tapi dapat juga karena kondisi demografis, faktor keamanan, atau strategi mengelola energi seksual untuk kemaslahatan masyarakat. Dengan kecenderungan seperti ini media tidak dapat diharapkan membawa wacana poligami kepada masalah ekonomi, imperialisme dan kapitalisme global, kehancuran keluarga monogami, banyaknya perawan tua, kecenderungan zina dan pergundikan, penurunan kualitas pendidikan anak di rumah tangga monogami, dan sebagainya.
Fokus yang dipilih media menimbulkan dugaan bahwa media mempunyai agenda setting yang bersifat khusus, yang berusaha mengarahkan perhatian khalayak hanya pada satu perspektif dan mengalihkannya dari perspektif lain. Masalahnya, mungkin, kalau wacana poligami dibiarkan berkembang kemana-mana akan ada agenda-agenda tersembunyi (hidden agenda) dari pihak-pihak tertentu (berkolusi dengan feminisme) yang mau tidak mau harus dihadirkan di muka publik.
Agenda tersembunyi tidak mungkin dilacak dari isi wacana yang dikembangkan media, karena isi wacana berfungsi sebagai tabir penutup perhatian publik. Upaya pembongkaran agenda tersembunyi hanya dapat dilakukan dengan menganalisis topik-topik yang tidak pernah dibahas media dan menghubungkan topik tersebut dengan realitas sosial, ekonomi maupun politik. Salah satu topik yang seharusnya dianggap penting – kalau media tidak menyembunyikan agenda tertentu – adalah keterkaitan poligami dan monogami dengan kepentingan kapitalisme global serta penyebaran paham neo-liberalisme.
“Persekutuan” Feminisme dengan Kapitalisme Global (KG)
Peter Sachse (1999) secara tajam melihat hubungan yang begitu tegas antara upaya mempertahankan model keluarga monogami dengan keinginan mempertahankan absolutisme yang anti-demokrasi: tanpa monogami maka absolutisme itu akan runtuh. Argumentasi yang dikemukakan Sachse jadi lebih menarik lagi karena ia mencurigai “perang” melawan poligami, sebagai upaya untuk memperoleh buruh murah, yang terus-menerus menopang absolutisme.
Menurut Sachse, kekuasaan absolut yang dimiliki minoritas kelas atas ditopang oleh tiga pilar, yaitu perbudakan, pemilikan pribadi dan monogami. Perbudakan dibenarkan untuk memperoleh buruh murah. Buruh murah menciptakan masyarakat kelas bawah miskin yang tidak mungkin memperoleh previlese atau hak-hak istimewa (seperti yang dimiliki kelas atas) karena tidak memiliki kekayaan pribadi. Persediaan buruh-buruh yang dapat dieksploitasi dengan harga murah ini seterusnya dipertahankan dengan melarang poligami supaya kelas atas tidak menikahi kelas bawah.
Pernikahan kelas atas dengan kelas bawah akan menyebabkan perempuan kelas bawah terangkat derajatnya, atau terjadi percampuran ras, dan bila hal ini terus-menerus terjadi, absolutisme dan budaya pendukungnya akan hilang. Dengan demikian, kekuasaan absolut tetap bertahan sepanjang monogami dipertahankan.
Kelas sosial yang mempunyai kekuasaan absolut seperti di Eropa sekarang telah berganti wajah dari borjuis ke pemodal kaya dan politisi berpengaruh, namun karakter elitis dan kecenderungan eksploitatifnya masih terjaga. Hal ini memungkinkan watak absolutisme Eropa menyeberang kemana saja, kemudian mendirikan pilar-pilar penyangganya dimana-mana, termasuk Indonesia. Di negeri ini, monogami, yang menjadi salah satu pilarnya, telah berhasil ditancapkan dengan kokoh, didukung oleh undang-undang dan opini kaum perempuan. Hasilnya, cadangan buruh murah dari kalangan perempuan melimpah ruah, bahkan ribuan diantaranya mengalami “pembuangan” ke luar negeri sebagai TKW atau diseludupkan sebagai pelacur ke negara tetangga. Bagi elite kaya, mereka adalah benteng yang menghasilkan berbagai keistimewaan.
Mengacu pada pikiran Sachse, kaum pemodal kaya maupun para politisi berpengaruh dapat menikmati keistimewaan-keistimewaan “berkat” adanya kelas miskin yang bekerja tak kenal lelah untuk kepentingan mereka. Tanpa orang-orang miskin yang bersedia bekerja di pabrik-pabrik, jaringan supermarket, tempat hiburan, perkebunan, atau menjadi kader partai yang dikuasai para elite tadi, keistimewaan akan sangat sulit diperoleh.
Sementara orang-orang dari kelas miskin seterusnya berada disana, bertambah banyak dari waktu ke waktu, dan hampir tidak mungkin bagi mereka masuk ke lingkaran elite kaya atas dasar hubungan perkawinan. Mereka yang berada di kelas kaya hanya akan mengawini orang yang sekelas, dengan sedikit saja pengecualian. Artinya, seorang pejabat teras atau pengusaha kaya mungkin saja menikahi seorang pembantu rumah tangga yang bekerja di Saudi Arabia atas pertimbangan agama, namun dalam realitasnya hal itu mustahil dilaksanakan mengingat resikonya demikian besar kepada status sosial pihak laki-laki. Kebanyakan kaum perempuan miskin hanya dapat berhubungan secara seksual dengan laki-laki kaya dan terpandang secara ilegal, baik dalam konteks bisnis maupun sukarela.
Perempuan sebagai Sumber Keuntungan
Kini kekuasaan absolut menemukan wadahnya dalam kerajaan-kerajaan bisnis kelas dunia yang disebut kapitalisme-global (KG). KG merentang sayap ke berbagai negara dengan semangat neo-liberalisme hanya untuk satu tujuan: mencari laba sebanyak-banyaknya. Laba terbesar diperoleh dengan menekan biaya produksi serendah mungkin dan mengoptimalkan volume penjualan.
Perempuan adalah sumber keuntungan yang sangat penting bagi KG karena dua sebab, pertama, perempuan dapat dibayar dengan upah lebih rendah dibandingkan tenaga kerja laki-laki kalau mereka miskin dan berada pada kelas buruh. Selain bayarannya murah kebanyakan perempuan tidak terintegrasi ke dalam organisasi-organisasi buruh radikal dan lebih mudah diintimidasi. Kedua, perempuan dapat dieksploitasi selera belanjanya sehingga perempuan kaya sangat potensial sebagai pasar. Dengan demikian, dalam segala status perempuan merupakan sumber keuntungan bisnis bagi KG.
Namun untuk melakukan eksploitasi secara maksimal KG dihadapkan pada struktur sosial yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, dan perempuan berada dalam ruang pengaruh bahkan kekuasaan laki-laki. Eksploitasi akan lebih mudah dilakukan apabila pengaruh laki-laki lebih dulu disingkirkan. Dengan kata lain, perempuan harus dibebaskan dari dominasi kaum laki-laki. Poligami adalah salah satu institusi perkawinan yang tidak saja melanggengkan, tapi juga memperkuat pengaruh laki-laki atas kaum perempuan. Oleh sebab itu KG sangat berkepentingan dalam kampanye anti-poligami yang dilancarkan kaum feminis.
Keinginan menyingkirkan laki-laki inilah yang memberi peluang bertemunya kepentingan KG dengan feminisme. Namun hubungan feminisme dengan KG tidak kasat mata dan cenderung tidak kelihatan secara formal. Organisasi feminis cenderung tertutup, enggan membawa serta laki-laki, bahkan tertutup untuk perempuan yang dianggap non-feminis, sehingga tidak mudah melacak hubungan misterius diantara keduanya. Yang jelas, beberapa proyek feminisme dibiayai oleh funding yang didanai oleh aparatus neo-liberal (seperti Ford Foundation, IMF dan World Bank).
Johanna Brener, seorang aktivis feminis mengakui hal itu dan mengatakan bahwa aspirasi feminis mengenai perempuan, yaitu kewarganegaraan penuh, kesamaan akses kepada pendidikan, kesempatan kerja dan berakhirnya otoritas serta hak-hak laki-laki mengontrol tubuh, seksualitas dan potensi reproduksi benar-benar sesuai dengan keinginan neo-liberalisme. KG rupanya mengambil keuntungan dari gerakan feminisme, sehingga menyebabkan perempuan dan anak-anak menjadi korban KG yang lebih parah keadaannya dibandingkan laki-laki.
Aktivis feminis boleh jadi tidak menghendaki proyek mereka ditunggangi oleh kepentingan KG, namun realitas membenarkan hal itu. Brener mengatakan:
Capitalist globalization has had a profound yet contradictory impact on women’s lives and on the possibilities for contesting male domination in both the core and periphery of the world capitalist system. On the one hand, older forms of male dominance are being undermined; on the other, women’s life conditions are in many respects growing worse.
Penutup
Sebagian orang boleh saja mengatakan persoalan Aa Gym yang sampai ke istana negara sebagai urusan remeh-temeh yang tiba-tiba jadi urusan presiden. Boleh jadi hal itu terjadi mengingat popularitas Aa Gym sehingga dikuatirkan memberi legitimasi kepada poligami secara luas. Padahal UU Perkawinan No.1/74 telah berusaha membatasi kemungkinan laki-laki berpoligami dengan membuat syarat yang besar kemungkinan tidak mungkin terpenuhi oleh yang berniat.
Namun alasan timbulnya kekuatiran ini belum cukup kuat. Bila saja tidak ada sebuah kekuatan yang berusaha menekan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kecil kemungkinan masalah Aa Gym akan jadi urusan presiden. Kekuatan yang menekan ini pastilah yang paling berpengaruh kepada jalannya roda pemerintahan, dan kekuatan itu besar kemungkinan berasal dari kapitalis global.
Referensi
Brenner, J., “Transnational Feminism and The Struggle for Global Justice”, New Politics, vol. 9, no. 2, 2003
CEDAW, Committee on the Elimination of Discrimination against Women Indonesia , Laporan No. 2-3, Februari 1997.
Chatra, E., Orang Jemputan, Regulasi Seksualitas dan Poligami di Minangkabau, Laboratorium Sosiologi FISIP Unand, Padang 2006.
Davidson, N.,The Failure of Feminism, Prometheus Books, Buffalo, New York, 1988.
Goldstein, M.C., “Fraternal Polyandry and Fertility in a High Himalayan Valley in Northwest Nepal”, Human Ecology, 4 (2) 1976
Kompas Cyber, 7 Desember 2006
Megawangi, R., Membiarkan Berbeda, Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Pustaka Mizan: Kronik Indonesia Baru, Bandung, 1999
Sachse, P., Polyginy and the Four Pillars of the Indo-European Social Order dalam http://www.org/fecpp/CPM017-IndoEur.html (diakses 11/10/2002)
United Nation, The Inequality Predicament, Report on the World Social Situation, New York, 2005
Discussion about this post