Target Indo – Peringkat Indeks Kemerdekaan Pers di Indonesia pada level dunia versi Reporters Without Borders tahun 2018 ini hanya berada di urutan ke 128 dari total 180 negara.
Indikator ancaman kebebasan pers ini tentunya sinkron dengan fakta kejadian kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang setiap tahun mencapai angka puluhan kasus sejak 5 tahun terakhir.
Dari sekian banyaknya kasus kekerasan terhadap pers di Indonesia, hampir tidak ada yang diproses menggunakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai acuan hukumnya. Wartawan yang menjadi korban kekerasan saat melakukan peliputan tidak satupun diproses sesuai UU Pers.
Bahkan pada umumnya kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan oleh pejabat atau aparat hukum hanya berujung permintaan maaf oleh pelaku terhadap korban, dan kasus hukumnya tidak berujung ke pengadilan.
Pada kenyataannya tidak ada pula upaya dari Dewan Pers untuk ikut mendesak pelaku kekerasan terhadap pers dikenakan sansksi sesuai UU Pers yang ada ancaman pidana penjara dan denda sebesar 500 juta rupiah.
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen ada 75 kasus kekerasan terhadap wartawan tahun 2017 dan LBH Pers mencatat ada 83 kasus. Polisi menjadi pelaku terbanyak ke dua dalam tindakan kekerasan tersebut. Dan umumnya kasus kekerasan terhadap wartawan tersebut pelakunya hanya dijerat dengan KUHP. Fenomena ini disebabkan pemahaman terhadap perlindungan kemerdekaan pers dalam tubuh Polri masih sangat kurang.
Berdasarkan kenyataan ini wartawan pun perlu menyikapi dan mengantisipasinya dengan cara menghindar jika ada potensi terjadi tindak kekerasan. Yang harus diingat betul oleh wartawan bahwa di dunia ini tidak ada berita yang seharga nyawa. Intinya wartawan itu harus punya insting dan kepekaan serta waspada melihat situasi di saat menjalankan tugas peliputan. Pimpinan media juga wajib melatih reporter maupun kameramennya agar dapat menjalankan tugas peliputan sesuai standar keselamatan.
Selain itu etika dalam peliputan perlu juga dijaga oleh wartawan agar terhindar dari tindakan kekerasan oleh pihak manapun.
Dari Fakta kekerasan terhadap pers di atas menunjukan Dewan Pers sebagai lembaga yang berfungsi melindungi kemerdekaan pers tidak hadir dalam upaya melindungi kemerdekaan pers di Indonesia.
Dewan Pers sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sejatinya bertujuan untuk melindungi dan mengembangkan kemerdekaan pers. Namun pada kenyataannya implementasi fungsi Dewan Pers yang diatur dalam pasal 15 UU Pers tersebut justeru kontra produktif dengan pengembangan dan perlindungan kemerdekaan pers di Indonesia.
Dewan Pers bahkan sudah menjelma menjadi sebuah lembaga yang identik dengan Departemen Penerangan RI di era Orde Baru lalu. Kewajiban Verifikasi terhadap media yang diatur Dewan Pers tak ubahnya seperti kewajiban SIUP atau Surat Izin Usaha Penerbitan (syarat pendirian media oleh Depen RI) dalam bentuk baru versi Dewan Pers. Media yang belum diverifikasi oleh Dewan Pers dianggap bukan perusahaan pers.
Regulasi Verifikasi Media ini sesungguhnya sangat berpotensi membuka celah yang sangat besar bagi wartawan dan media untuk dikriminalisasi atas karya jurnalistiknya. Ditambah lagi dengan kebijakan Dewan Pers yang mewajibkan seluruh wartawan memiliki sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang ditunjuk Dewan Pers sebagai penyelenggara UKW.
Dua hal di atas (Verifikasi media dan UKW) kini menjadi pintu masuk wartawan dan media dikriminalisasi oleh pihak manapun yang merasa dirugikan akibat pemberitaan. Buktinya, kejadian di Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, ada media Surat Kabar Harian (SKH) Bolmong diadukan oleh seorang calon bupati ke Dewan Pers terkait berita mengenai harta kekayaan calon bupati tersebut mencapai 2,2 Triliun Rupiah berdasarkan kutipan keterangan resmi dari laman resmi Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam memproses aduan tersebut Dewan Pers justeru membuat pertimbangan tentang media tersebut belum diverifikasi dan pengelola redaksi belum ikut UKW sehingga memutuskan bahwa berita yang dibuat tersebut tidak memenuhi standar kualitas karya jurnalistik dari aspek teknis maupun etis, sehingga Dewan Pers merekomendasi kepada pengadu untuk membuat laporan kepada kepolisian. Ini sama saja Dewan Pers ikut mengkriminalisasi pemberitaan di media SKH Bolmong. Padahal berita yang hampir sama ikut diberitakan oleh media CNN Indonesia :
Fakta di atas makin memperjelas bahwa keberadaan Dewan Pers sangat berpotensi mengancam kemerdekaan pers di Indonesia.
Sepak terjang Dewan Pers yang membuat Nota Kesepahaman dengan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia malah menunjukan bahwa Dewan Pers tidak memahami ‘roh’ kemerdekaan pers yang dijamin dalam UU Pers pada pasal 4 : “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Dewan Pers seolah ‘mengemis’ kemerdekaan pers kepada Polri lewat nota kesepahaman tersebut. Seharusnya tanpa nota kesepahaman Polri wajib melaksanakan UU Pers dalam memproses semua aduan terkait pemberitaan pers.
Yang terjadi di lapangan justeru aparat kepolisian di level bawah sepertinya melihat KUHP lebih tinggi dibanding nota kesepahaman antara Polri dengan Dewan Pers.
Buktinya, kasus Ismail Novendra, pimpinan media Koran Jejak News terbitan Padang, Sumatera Barat, dijadikan tersangka oleh penyidik Polda Sumbar terkait pemberitaan pekerjaan proyek bernilai milyaran rupiah oleh kontraktor yang baru masuk di Sumbar. Legitimasi rekomendasi Dewan Pers yang menyatakan kasus tersebut tidak bisa diproses pidana ternyata tidak berlaku bagi penyidik Polda Sumbar. Ismail Novendra tetap ditetapkan sebagai tersangka dan bahkan saat ini kasusnya sudah ke tahap persidangan. Dewan Pers tidak melakukan upaya hukum sama sekali meskipun rekomendasinya ‘dilecehkan’ oleh penyidik Polda Sumbar. Dewan Pers hanya diam saja menyikapi kriminalisasi yang dilakukan oknum penyidik Polda Sumbar terhadap Ismail Novendra Pimred Koran Jejak News. Dengan demikian keberadaan Dewan Pers sebetulnya tidak berguna bagi upaya perlindungan terhadap kemerdekaan pers.
Tak heran, dalam kondisi seperti ini sangat jelas terbukti bahwa Dewan Pers “berhasil” membuat potret kemerdekaan pers di Indonesia di mata dunia internasional berada pada level bawah.
Bagaimana mungkin Pers Indonesia bisa dilindungi kemerdekaannya jika Dewan Pers hanya sibuk sendiri sementara wartawan terus terancam baik nyawa maupun kebebasannya.
Peran organisasi pers dalam melindungi wartawan dari ancaman kriminalisasi dan kekerasan sudah direnggut oleh regulasi Dewan Pers. Bahkan aturan verifikasi organisasi pers yang dibuat oleh Dewan Pers yang bermuara pada penetapan 3 organisasi pers sebagai konstituen Dewan Pers, telah menghilangkan hak konstitusi wartawan yang tergabung dalam puluhan organisasi pers. Puluhan Organisasi Pers yang memilih anggota Dewan Pers setelah UU Pers tahun 1999 disahkan kini kehilangan hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers.
Di berbagai negara, peran organisasi pers justeru sangat besar terhadap gerakan atau upaya perlindungan terhadap kemerdekaan pers. Bahkan Organisasi Pers merupakan benteng bagi insan pers dalam menghadapi ancaman kriminalisasi pers. Di Indonesia, Dewan Pers justeru ‘sukses’ mendepak puluhan organisasi pers dari keanggotaan atau konstituen Dewan Pers.
Menerawang lebih jauh lagi, Dewan Pers sekarang ini makin banyak bercokol orang-orang yang sudah kehilangan jabatan public dan kemudian menjadikan Dewan Pers sebagai lahan baru untuk mempertahankan eksistensinya. Ada mantan Ketua MA, mantan Gubernur, dan mantan-mantan lainnya pernah menduduki jabatan sebagai anggota Dewan Pers.
Baru-baru ini organisasi Serikat Pers Republik Indonesia dan Persatuan Pewarta Wartawan Indonesia melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Dewan Pers atas kebijakan dan regulasi yang bertentangan dengan UU Pers maupun UU lainnya. Upaya itu tentunya menjadi bagian dari gerakan penyelamatan terhadap kemerdekaan pers tanah air. ****
***Penulis adalah : Ketua Umum DPP SPRI
Discussion about this post