Jakarta, TI – Adanya perhelatan pro dan kontra atas pernyataan Egy Sudjana di acara Musyawarah Besar (mubes) Pers Indonesia, untuk membentuk Dewan Pers Independen sebagai sarana pengganti Dewan Pers, yang dinilai oleh para aktifis pers dan masyarakat gagal menjaga kebebasan pers di Indonesia, Selasa, 18/12, di Gedung Sasono, TMII, Jakarta Timur, dinilai adalah bagian dari pesta demokrasi dan panasnya suhu politik menjelang pilpres 2019.
Sekjen Forum Jurnalis dan Media Nasional, Muhamad Helmi Romdhoni, keesokan harinya, Rabu (19/12), mengatakan bahwa dari peristiwa itu menunjukkan bahwa Dewan Pers Independen yang dibentuk oleh Sekber (Sekretariat Bersama) Pers Indonesia ini adalah bukan politik, non simpatisan, lepas dari dukung mendukung calon presiden, dan murni untuk kebebasan pers.
Ia menjelaskan, Egy Sudjana hadir sebagai undangan yang kaitannya adalah penasehat hukum Sekber Pers Indonesia sejak awal pembentukan Sekber Pers Indonesia. Menurutnya, arah pembicaraan Egy Sudjana adalah untuk memperjuangkan ideologi pers di Indonesia perlu adanya kesatuan dan persatuan yang lebih besar sebagai kekuatan pengawal kebebasan pers, dan itu harus diperjuangkan terus menerus setiap saat, bukan hanya pada saat mubes ini.
Kondisi saat ini, gerakan pers sudah mengkwatirkan, banyaknya kriminalisasi terhadap wartawan dan media dijebloskan ke penjara, lanjut Helmi, sehingga Egy Sudjana menuangkan pemikirannya bahwa ada momentum yang bisa memperkuat gerakan-gerakan pers yakni momentum politik, ganti presiden, pemilihan presiden, di tahun 2019 ini.
Memang terselib ucapan mementum ganti presiden, tapi itu bukan ungkapan teknis dukungan kepada calon tertentu, tapi suatu ungkapan situasi akan adanya pemilihan presiden 2019. Jelas Helmi menafsirkan arah pembicaraan Egy Sudjana yang sempat terhenti itu.
Disitulah timbul adanya salah paham dari peserta yang memprotes ucapan itu, dan menghentikan kelanjutan pidato Egy Sudjana yang belum sempat diselesaikannya, ucap Helmi yang menilai bahwa Egy Sudjana pada saat itu hendak memberikan semangat dan pesan moral kepada kawan-kawan aktifis pers yang hadir.
Terpisah, DR. Ibnu Mazjah, SH, MH, terkait dengan cuitan Egy Sudjana kepada media menerangkan bahwa ada ujian demokrasi yang terjadi di acara musyarah pers kemarin, dan memang ucapan itu tidak pada tempatnya.
Namun juga terlalu naif, bila tak dimungkinkan terjadi keterkiliran sikap politik di tengah hamparan ruang yang diisi para punggawa demokrasi di situ, hal yang lumrah dan maklum kiranya di sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi, sekalipun penolakan tersebut dihadapkan dengan isu posisi netralitas media.
Dalam pada itu, menurut saya, pengembanan tugas menjaga netralitas bukan didasarkan pada kecenderungan sikap politik para penggiat media yang bersangkutan, tetapi didasarkan pada bagaimana menjalankan objektifitas hukum secara nyata.
Dengan demikian, perbedaan pandangan politik maupun perbedaan lainnya tetap dapat disikapi secara demokratis, sebagaimana ungkapan Voltaire yang menjadi kerangka filosofi dalam kebebasan berekspresi:
“I detest what you write, but I would give my life to make it possible for you to continue to write”. Kalimat tersebut diparafrasekan lagi menjadi : “I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it”, ujarnya.
Mengenai Dewan Pers ia menyampaikan, Dewan Pers acap membenturkan tindakannya dengan argumentasi untuk melindungi pers dari para penumpang gelap kemerdekaan pers.
Muncul jargon “Insan pers harus profesional”, yang ukuran profesionalitasnya didasarkan pada lulus tidaknya mereka dalam pelaksanaan uji kompetensi wartawan.
Jargon ini merangkul kuat upaya kepolisian menjerat wartawan dengan sarana hukum pidana, disebabkan jargon itu pula, dimensi tentang masalah hukum kasus-kasus pers bukan lagi terpatri kepada norma yang bertumpu kepada isu kebebasan berpikir, kebebasan untuk berekspresi mencari dan menyebarkan informasi bertalian dengan unsur-unsur kepentingan umum sebagaimana bagian dari perlindungan HAM, ungkapnya.
Dikutip dari laman Lapan6Online, DR. Ibnu Mazjah menjelaskan, di Gedung Sasono Utomo TMII digelar Mubes Pers Indonesia adalah hajat masyarakat pers yang dihadiri 2000 an peserta dari perwakilan media massa maupun organisasi pers di Indonesia.
Mubes juga mengemban misi, membentuk Dewan Pers Independen, menyusul penilaian masyarakat pers terhadap Dewan Pers yang dinilai tak demokratis serta tak merepresentasikan penghormatan terhadap kebebasan pers itu sendiri.
Tak ayal, Pemahaman sempit itu pada gilirannya berdampak kontraproduktif terhadap upaya memperjuangkan demokrasi, upaya untuk menghormati HAM bertalian dengan penyaluran hak atas kebebasan untuk berbicara, kebebasan berekspresi yg termanivestasi dalam freedom of the press.
Masalah profesionalitas, karena hakikat dari pelaksanaan fungsi pers merupakan manivestasi yang bersentuhan dengan hak asasi alamiah manusia maka penerapan aturan administrasi hendaknya jangan sampai menjadi faktor penghambat bagi setiap subjek hukum dlm menyalurkan haknya dimaksud.
Mubes Pers, kiranya menjadi titik anjak proses berdemokrasi bagi kalangan insan pers sekaligus upaya memecah dan mencari solusi persoalan pers yang kini berada di persimpangan jalan.
Dilain sisi, Ketua Umum Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) dalam keterangan persnya menyampaikan, bahwa dalam musyarawah ini tidak ada ganti presiden, ia sebagai Ketua Pers Indonesia meminta agar mubes ini tetap dilanjutkan sesuai dengan tujuannya hingga selesai, dan tetap diingat tidak ada kaitannya dengan ganti presiden, tegas Suriyanto, SH, MH. **
Discussion about this post