Kisah Nyata Oleh : Target Sumbar
Kabupaten, Solok. TS – Gontai langkahku pulang, membawa pesan yang sangat wajib disampaikan. Pesan moral untuk maklumat manusia yang konon katanya berjiwa. Tak tentu arah lajur ini bila tetap membayangkan nasib seorang tua renta dalam ketidak sanggupan menghidupi dirinya.
Senantiasa bathin ini dilukai oleh perasaan yang seakan-akan menghukum relung hati. Memukul, menyentak dan marasuki jiwa semakin mendalam. Siapalah yang akan tahan bila melihat kondisi seorang ibu tua dalam kejamnya dunia. Aku tidak sanggup menyalahkan Tuhan, hanya saja kecewa dengan ciptaan-Nya yang berkemampuan namun lebih membiarkan.
Apalah dayaku, seorang wartawan berpenghasilan tidak tetap dan juga disibukan dengan pertarungan hidup yang semakin hari semakin mendera oleh system tak layak ini.
Dia bernama Bu Nenih. Seorang ibu tua lebih dari pada miskin yang tinggal di Kanagarian Sungai Nanam, Jorong Limau Puruik, tepatnya di kampung Surau Tabek Kayu Iduik, Kabupaten Solok.
Nasib yang ia dera betul-betul menyangga ronggaku menelan makanan yang tidak berasa lagi bagiku setelah melihatnya. Bu Nenih hidup bersama dua orang anaknya serta dua orang cucu kecil yang berstatus yatim piatu. Bapak ibuk dari dua cucunya itu telah dipanggil Tuhan, kemudian Bu Nenihlah yang membesarkan anak-anak itu sedari kecil.
Kini tinggalah sepasang anak yang membantunya, mereka berkawan penderitaan menjalankan hidup bersama. Kedua remaja itu rela berkuli bekerja serabutan dari pada tidak ada yang mau mereka suap pagi petang.
Mereka semua kujumpai, dengan perasaan rapuh aku terpaksa mewawancarainya. Sebelum berjumpa mereka, terlebih dahulu kudapatkan kabar dari warga setempat bernama Fatrial.
Kamis 11 Agustus 2016 sore hari. Sepenggal waktu yang kupunya bersama mereka. Kebetulan saat itu aku tengah lakukan investigasi sebuah misteri kasus tentang kasak-kusuknya negeri tersebut. Disengga waktu istirahat, Fatrial datangiku karena dia tahu aku seorang wartawan. Dia melaporkan tentang adanya salah seorang warga berstatus sangat menderita kepadaku. Tuturnya serius, seakan-akan aku harus mencarikan bantuan untuk apa yang disampaikanya.
Awalanya, kutanggapi dengan santai. Sebab, banyak penderitaan orang sudah biasa kulihat melalui pengkhabaran yang ada di media masa. Aku tidak begitu serius menanggapinya karena bukanlah itu tujuanku berkehendak ke kampung itu.
Tapi, bahasa tubuh Fatrial seperti memaksa diriku untuk ikut bersamanya menemui seseorang yang diceritakanya itu, yakni Bu Nenih. Sebagai wartawan, aspirasi masyarakat tidak boleh kulengahkan karena hal itu sudah tertuntut secara tidak langsung dalam profesiku ini. Akhirnya, aku mau ikut denganya.
Perjalanan beberapa ratus meter dari sebuah warung yang kami tempati saat berbicara tadi. Telusur demi telusur, jalan setapak berjajal kulalui. Rumput tinggi acap kali kulangkahi bersama dinginnya suhu daerah itu.
Sembari lakukan perjalananpun, Fatrial masih saja bercerita. Ia menyebutkan bahwa Bu Nenih tidak pernah mendapatkan bantuan, meskipun Negeri itu terima banyak bantuan dari luar, bahkan bantuan antah barantah sekalipun. Ironisnya lagi, dia menuturkan hampir seperangkat daerahnya yang ada seolah tidak mau tahu tentang keberadaan Bu Nenih. Mereka hanya disibukan oleh keseharian tanpa peduli ada manusia yang membutuhkan perpanjangan tangannya.
Dalam hatiku, tentunya Jorong beserta Perangkat Walinagari harus tahu tentang persoalan ini, karena hal ini merupakan kewajiban yang tidak bisa mereka hindari. Mereka harus bantu dengan upaya apapun sebagai bentuk orang yang punya kewenangan dan juga sebagai manusia. Entahlah jika mereka bukan sedemikian.
Dari kejauhan rumah Bu Nenih sudah mulai terlihat. Bahkan dari ujung pandangan sekalipun aku sudah bisa menilai itu sepantaran gubuk. Aku mulai merinding dengan kebenaran cerita Fatrial. Bapak petani ini mulai kukagumi dengan segala usahanya untuk membantu Bu Nenih. Menjelang sampai ia masih saja menceritakan pengakuan Walijorong nya yang mengatakan bahwa bantuan untuk desa mereka belum turun.
“Jika melihat desa-desa lain, baik bantuan Raskin maupun bantuan bentuk lainnya selalu saja terus bergulir, tapi kok bantuan pemerintah untuk desa ini tidak pernah ada” tuturnya terheran-heran.
Setelah sampai, Fatrial mengetuk pintu rumah kecil tersebut. Pintu terbuka perlahan, dengan wajah lesu, memandangku macam orang yang ragu. Tanpa basa-basi kujulurkan tangan berkenalan dengan beliau. Hatiku bergemuruh, berkecamuk ternyata ini semua benar. Betapa bersalahnya diriku seakan acuh tak acuh diawalnya tadi.
Melihatnya saja membuatku sangat prihatin dengan kondisi Bu Nenih, tanpa harus ia bercerita terlebih dahulu.
Dan mulailah Bu Nenih menceritakan hikayatnya yang penuh duka itu. Suarnya serak, dan sangat lelah sekali. Aku yakin itu lantaran ia menderita. Parahnya lagi, masyaAllah dia baru berusia 45 tahun dan terlihat sudah tua sekali, penderitaan yang ia alami membuat fisiknya jauh melampaui umurnya.
Bu Nenih hidup secara miskin sejak dulu. Dia tidak pernah mengecap hidup enak, bahkan makan enakpun ia jumpai bila ada keluarga yang melakukan helatan. Parah benar hidupnya. Aku malu dengan keadaan sekitar, sumpah serapah lahir seketika di dalam bathinku menuntut keadilan ini. Bagaimana bisa ini terjadi, seorang berkedudukan merana di tengah-tengah masyarakat kaya kebun.
Tak tahan mendengar suara Bu Nenih, aku langsung memalingkan muka dan mengajak anaknya untuk berungkap kisah. Gadis berusia 22 tahun itu bernama Rika. Ia telah ditinggal kakaknya yang mewarisi kedua bocah berstatus yatim piatu. Dengan penuh cinta dan perjuangan mereka melaksanakan hidup ini dari pada mati tak jelas.
Rika mengatakan bahwa ibunya sebagai tulang punggung keluarga saat ini tengah sakit asma dan tak bisa lagi mengais rezeki untuk makan. Sementara waktu Rika bersama adik laki-lakinya yang masih belasan tahun sudah terputus sekolah. Mereka berkuli disuruh-suruh orang agar bisa mendapatkan segelintir belanja untuk pembeli beras dan lauk-pauk serta kebutuhan untuk berjaga-jaga, meskipun hanya sanggup mendapatkan ribuan per harinya.
Aku tidak sanggup lagi melihat mereka. Melalui media ini aku berpesan, wahai manusia yang bermata hati, kerahkanlah bulir-bulir hartamu untuk membantu mereka. Wahai Gubernur, haturkanlah kewenanganmu untuk menyelamatkan mereka. Wahai Bupati, tujukanlah bahwa engkau pemimpin mereka. Wahai walinagari, jangan terlalu sibuk dengan persoalan pribadimu dan kemudian luangkanlah waktumu untuk rakyatmu, karena kamu itu mereka. Untuk mereka.
Discussion about this post