Diketahui bersama, bahwa hukum merupakan produk politik. Hal ini adalah suatu pernyataan yang tak terbantahkan lagi. Hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tetentu akan melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula. Kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama).
Meskipun kedua undang-undang itu lahir pada era orde baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi.
Yang paling sering dijadikan kambing hitam adalah ketika pemilihan umum (Pemilu) dan Pilkada yang dinilai sebagai aktor utama politisasi hukum di negara ini. Ketika fraksi-fraksi di DPR menyepakati diterapkannya sistem pemilu proporsional pada pemilu juni 1999. Dimana aspek-aspek pembenar terhadap suatu opini yang menyatakan bahwa hukum merupakan suatu produk politik.
Oleh karena itu, Pemilu dengan sistem proporsional mengisyaratkan ‘cost’ yang harus dibayar dalam keikutsertaan perlombaan politik ini terlihat semakin tinggi. Kemudian pertanyaan yang akan muncul dari hal tersebut adalah, orang seperti apa sajakah yang akan ikut serta dalam perlombaan tersebut.
Dalam hal ini, sistem proporsional kemudian akan melestarikan oligarki politik, dengan sistem itu, posisi partai tetap akan begitu dominan. Sehingga disaat partai memegang kendali dari daulat politik, maka semangat reformasi yang ingin membangun daulat rakyat akan mengalami reduksi yang begitu serius. Kemudian rakyat menjadi sapi-sapi politik. Bedanya, kalau dulu digiring oleh Negara, maka saat ini digiring oleh para Partai politik. (**)
Discussion about this post