By: Yohandri Akmal
Pemandangan memalukan terlihat jelas tepat disalah satu pondok ceper itu, sepasang muda-mudi berseragam sekolah asyik memadu cinta terlarang, layaknya suami istri. Tanpa merasa berdosa, dia asyik bercengkrama. Meskipun dua anak kecil dipinggir pantai memperhatikan mereka, pasangan itu tampak cuek seperti tidak ada kejadian saja
Memiriskan, tampaknya pergaulan bebas remaja negeri ini, makin tak terkendali. Meskipun dikenal dengan negeri religius, muda-mudinya terlihat seperti tak lagi berahklak.
Aku dan Willy geleng-geleng kepala saat melihat pemandangan seronok itu, hal yang tak wajar tampak jelas didepan mata. Aku pun menjadi kesal, ini tak bisa dibiarkan. Sebagai putra daerah, aku tidak terima. Dengan tanpa pikir panjang, kudatangi pasangan memalukan itu. Nasehat keras dan kata sumpah serapah, ku hela dikedua telinga anak remaja ingusan itu. Tanpa disadari, aku benar-benar naik pitam.
Meski terdiam, Sepasang remaja tak bermoral ini terlihat hanya cengar cengir saja, layaknya seperti orang yang tak merasa bersalah. begitulah kenyataannya kulihat saat itu.
Seorang wanita setengah baya datang mendekatiku. Begitu merapat, bibir hitam kelam yang menempel di mulutnya langsung berbicara. Anehnya, dia malah membela pasangan mesum tadi. Saat ku tanya, ternyata dia pengelola warung ceper itu. Tanpa basa basi, dia langsung aku wawancara. Berlagak seperti tidak tahu, dia berkilah dengan berpuluh alasan. Rasa muak, membuat aku pergi meninggalkan dia.
Mengapa..?, negeriku yang dulu diselimuti adat bersandi sarak, sarak bersandi kitabullah. Seperti hanya tinggal kenangan saja. Hatiku serasa ditusuk, aku sedih dan kecewa. Aku berfikir, siapa yang mesti disalahkan?, siapa yang patut dikata’i. Sekilas aku pun tersadar, mungkin sekarang ini zaman sudah semakin edan. Seiring dengan penghuni negerinya yang makin berantakan. Tidak punya etika, seperti tak lagi tahu akan rasa malu, berbuat se-enak perutnya saja, seakan setan telah mengusai jiwa mereka. Masih adakah mereka yang bersih?.. Entahlah.., ungkapku dalam hati.
Sembari meneruskan perjalanan, aku tak ingin larut dalam persoalan yang tak kan bisa ku atasi. Menurutku, mungkin ini pertanda dunia sudah mendekati kiamat. Kita hanya tinggal menunggu waktunya saja, hari penutupun pasti akan tiba, yang bakal memporak porandakan bumi ini. Mudah-mudahan TUHAN mengampuni hamba-Nya yang telah bertaubat.
Dari kejauhan, kawan-kawan terlihat menunggu diwarung tepi pantai tempat kami biasa berkumpul. begitu sampai, motor pun ku parkir disamping kedai itu.
“Maaf kawan-kawan, sedikit terlambat” sapa ku kepada mereka.
“Kami juga baru tiba” ungkap Amril menyahut.
Amril merupakan Ketua LSM Penjara, selama ini ia sangat vocal mengkritisi berbagai penyimpangan yang terjadi di paparan tanah minang ini, apalagi perusahaan besar itu. Humasnya di anggap tidak professional, angkuh dan tidak gentlemen. Mengadu ke Dewan Pers, ibarat “Lempar Batu Sembunyi Tangan”
Bagi Amril, perusahaan besar itu dari tahun ketahun hanya mengejar keuntungan bisnis saja, tanpa memikirkan penghuni negeri yang tertindas. Asalkan laba terus meningkat, masa bodoh ada masyarakat yang tergilas. Setiap Amril mengupas kehidupan warga di bukit kapur sana, wajahnya langsung memerah, seakan tak terima perlakuan semena-mena itu.
Bagiku, dia adalah sosok yang selalu peduli dan konsisten memperjuangkan aspirasi masyarakat miskin. Sepak terjangnya, menjadikan dia dibutuhkan banyak orang. Itulah sekilas tentang performa dirinya.
Kulihat Amril duduk bersandar sembari menghisap rokoknya, lima orang kawan lainnya tampak segar menikmati sepoi-sepoinya angin pantai. Minuman capucino terhidang di atas meja duduk mereka. Dialah Man Leo, Gindo Sitanggang, Indra Leo, Syaiful dan Syafriadi. Hanya saja Rudy dan Sinda beberapa bulan belakangan ini, tak lagi pernah terlihat batang hidungnya. Informasi terakhir yang kudengar, dia telah merapat dengan perusahaan besar itu, ibarat kata pepatah “air ludah yang telah dibuang dijilat kembali”. Aku sangat kecewa, menyumpah dan sebagainya. Sudahlah… peduli amat dengan dia, umpatku dalam hati.
“Pempred kita kok belum datang” tanyaku ke Indra Leo.
“Barusan aku telpon, katanya dalam perjalanan meluncur kesini” jelasnya.
“Begini kawan-kawan, sembari menunggu beliau, mendingkan kita mulai saja diskusinya, yakni tentang surat teguran dari pusat yang ditujukan ke media kita, terkait laporan sepihak Humas perusahaan besar itu” jelasku sambari menyerahkan surat tersebut.
“Begini Bud, siapapun aktifisnya jika terus berjuang ibarat melawan arus, lelahnya pasti luar biasa. Selain di intimidasi, tekanan demi tekanan bakal silih berganti. Berbagai strategi politik bakal terus dimainkan mereka. Kuncinya, kita jangan pernah menyerah. Walaupun mereka terus tutup mata, meskipun pemimpin terkesan diam saja, ratapan masyarakat tertindas harus terus disuarakan”. Support Indra Leo kepada kawan-kawan.
“Tentulah Da In, andaipun perusahaan besar itu mampu membayar mereka semua, aku tidak peduli. Bagiku, perjuangan dalam menyuarakan aspirasi masyarakat tertindas, jangan pernah berhenti”. Balas Amril.
Mendengar ucapan Amril, membuat aku makin bersemangat. Diskusipun terus berlanjut, “kenapa seakan tak ada lagi keadilan untuk mereka. Padahal negerinya kaya raya, namun mengapa penghuninya hanya mendapatkan limbah dan ampasnya saja. Parahnya, hak mereka seperti dirampas tanpa bisa diambil kembali, tanah nenek buyutnya dikuasai begitu saja. Walau terus menuntut, namun tak ada daya” gerutu Indra Leo lagi
Aku sangat kasihan dengan sebagian warga kampung itu, kaum Makliar dan yang lainnya. Yang aku tahu, mereka telah berjuang menuntut haknya hingga puluhan tahun lamanya. Tertatih tatih bersuara, namun tetap saja tak ditanggapi. Sungguh malang nasib mereka, seakan perjuangannya hanya sia-sia saja. Yang lebih gawat lagi, Perjuangan Bundo Sisilia, dua kali dimasukan ke penjara akibat perkara yang sama, sepertinya hukum belum berpihak kepadanya.
Warga disana selalu berkata, Perusahaan besar itu, bak seperti penjajah.
“Terkait laporan sepihak Humas perusahaan itu ke Dewan Pers, sangatlah menggelikan. Mestinya dia mempelajari akan bagaimana peran Pers dinegara demokrasi ini. Kekokohan UU Pers, tidak akan bisa di utak atik. Dia harus faham bahwa kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari Hak Azazi Manusia (HAM). Jika aku menjadi Dirut perusahaan itu, tentu dia kupecat sebagai Humas. Kalau dibiarkan, tentunya reputasi ataupun citra perusahaan bakal menjadi tambah buruk”. Terang Gindo memukau.
Inspiratif juga Gindo ini, ucapku dalam hati. Setahuku, sosok wartawan yang satu ini memang memiliki keberanian, pekat, dan tegas. Sepak terjangnya yang selalu mengkritisi proyek-proyek Negara di paparan tanah minang ini, menjadikan ia sering di bully para rekanan kontraktor. Tiada lain, karena kepentingan mereka sering terganganggu untuk berbuat korupsi. Namun Gindo tak pernah takut menghadapinya.
Tak lama kemudian, dari kejauhan Akmal terlihat muncul dengan motor Yamaha V-ixionnya. Seorang bapak parlente setengah baya berboncengan dengannya. Begitu mendekat, aku sangat terkaget bercampur senang melihat wajahnya. Bagiku, sosok bapak ini begitu luar biasa. Sepak terjangnya didunia jurnalistik, memang tak asing lagi bagi kawan-kawan wartawan ataupun para pejabat ditanah minang ini. Setiap berita yang dipublishnya selalu berani, lugas dan pedas. Yang kutahu, banyak pejabat ditanah minang ini kewalahan menghadapi kritikan tajam tulisan-tulisannya. Dia sangatlah idealis dalam setiap pemberitaannya. Dikenal dengan nama…
Bersambung…
Discussion about this post