Pada malam ketujuh semenjak kematian Almarhum, tiba-tiba saja hujan turun lebat disertai dengan ledakan guntur dan petir yang menyambar-nyambar di angkasa. Tidak ada seorang pun yang berani mengambil jasad Almarhum yang menggeletak di tengah-tengah halaman. Begitu derasnya hujan turun membuat tanah di halaman tergenang air.
Saat itu, Agus hanya bisa memandanginya dengan hati perih dan berbagai macam perasaan berkecamuk menjadi satu. Ia ingin mengambil jasad ayahnya, tapi sebelum niat itu terlaksana, Kyai Mansyur mencegahnya. Bahkan dia memeluknya begitu kuat sekali. Sedikit demi sedikit air yang menggenang itu semakin tinggi. Jasad Almarhum mulai bergerak-gerak terbawa air. Dan akhirnya terbawa hanyut seperti sebatang pohon pisang yang tidak berguna.
Tanpa terasa air mata Agus menitik perih bercucuran. Didampingi Kyai Mansyur dan murid-muridnya serta puluhan penduduk. Agus mengikuti kemana jasad ayahnya hanyut terbawa air. Mereka terus mengikuti sampai ke sungai yang airnya sudah meluap tinggi. Akhirnya jasad Almarhum terus hanyut sampai ke laut hingga tertelan ombak yang ganas. Agus terus memandangi dengan air mata bercucuran.
“Semoga laut dapat menerima jasad ayahmu,” desah Kyai Mansyur lirih.
Memang, sejak malam itu mayat Almarhum tidak pernah kembali lagi. Sedangkan acara pengajian di rumahnya terus berlangsung sampai empat puluh hari lamanya. Meskipun jelas jasad ayahnya terbawa ke tengah laut, tapi Agus tetap merawat makamnya. Untuk menghilangkan kepedihan hatinya, terpaksa Agus meyerahkan pengelolaan ternak ayam serta perkebunan pada pamannya, adik kandung ibunya, yang semula bekerja sebagai mandor perkebunan.
Sedangkan Agus sendiri pergi ke kota untuk melanjutkan cita-citanya yang sempat tertunda. Agus memang berhasil menyelesaikan kuliahnya sampai ia mendapat gelar dokter. Dan Agus baru kembali ke kampung halamannya setelah mempersunting seorang gadis yang kini menyandang status sebagai isterinya.
Agus memang tidak mau membuka praktek di kota. Ia sengaja kembali ke kampung halaman untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di daerahnya, sembari merawat ibu tercintanya yang semakin renta di makan usia. Sampai Agus menuturkan kisah ini, baik isteri dan anak-anaknya tidak ada yang tahu rahasia pedih yang dialami oleh almarhum ayahnya. Semua penduduk di kampung ini juga tidak pernah ada yang membicarakan peristiwa itu lagi, seolah mereka sudah melupakannya. Di akhir penuturannya, Agus berharap semoga peristiwa yang pernah dialami ayahnya tidak pernah lagi dialami oleh anak manusia lainnya. Ya, semoga saja demikian adanya….
Catatan Redaksi: Karena kekuatan ilmu karang masih bersarang di dalam tubuhnya, maka bumi menolaknya. Jenazahnya selalu pulang sejak hari pertama dikuburkan, hingga janzah menjadi hanyut dan ditelan ombak. Mudah-mudahan dapat di ambil hikmahnya, dan jangan menuntut ilmu yang dilarang dalam ajaran Islam karena TUHAN tidak me-ridhoinya.
Discussion about this post