By : Dr. Emeraldy Chatra
Hampir setiap pertandingan bola tingkat internasional (World Cup) maupun kawasan (seperti Liga Eropa) saya muncul dengan kata kunci: agama bola. Saya tulis kata itu di media sosial, terutama Facebook. Saya seperti melawan arus dan kegilaan masa.
Setiap kali kata kunci agama bola saya munculkan respon ‘like’ yang saya peroleh biasanya sedikit saja. Artinya banyak yang tidak suka. Mungkin karena merasa kegilaan penggemar pertandingan bola diserang, atau mungkin tidak setuju kata agama disandingkan kata bola.
Saya menulis tentang agama bola semata karena melihat bahaya di balik pertandingan bola. Bukan karena alasan pribadi, misalnya karena saya tidak suka main bola. Bagi saya main bola itu tetap hanya olah raga. Ia akan menyehatkan kalau dimainkan sendiri. Tidak ada orang sehat karena menonton pertandingan bola.
Di Eropa kecintaan kepada sepak bola sudah melewati kecintaan kepada gereja. Jutaan orang tidak pernah ke gereja, tapi sebaliknya jutaan orang sangat bernafsu mendatangi stadion untuk menyaksikan klub kesayangan atau favoritnya bertanding. Sebagian dari mereka seperti mengalami kesurupan.
Kunjungan ke stadion tidak semata menyaksikan pertandingan. Banyak sekali yang terlibat dalam perjudian yang diselenggarakan secara legal mengiringi pertandingan. Bola dan judi menjadi dua domain yang tak terpisahkan.
Saya membuat istilah agama bola karena sepak bola benar-benar sudah dicintai seperti orang mencintai agama. Umat bola rela menempuh perjalanan beratus kilometer dengan karavan untuk menyaksikan pertandingan klub kesayangan sekaligus mengadu peruntungan dari perjudian. Semua tentu dengan menguras kucek sendiri.
Mereka pun fanatik terhadap klub-klub tertentu. Mereka mengalami ekstase kesenangan ketika klub kesayangannya menang, dan menangis ketika klub itu kalah.
Pertandingan akbar kelas internasional maupun regional sama dengan hari raya agama-agama yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. Kehadiran pertandingan itu lebih dinantikan ketimbang natal atau paskah. Mungkin juga lebih ditunggu daripada Hari Raya Idul Fitri. Wallahu’alam.
Pertandingan-pertandingan itu melahirkan sejumlah nabi-nabi sepak bola baru. Dulu ada nabi Pele, Franz Beckenbauer, Gerd Muller, Lothar Matthaus, Mario Kempes, Maradona, Rinaldo, Ronaldinho, Francesco Totti, Marco Van Basten. Sekarang ini ada nabi-nabi bola baru seperti Cristiano Rinaldo, Messi, dan Salah. Semua dielu-elukan umat bola bak nabi dalam agama-agama langit.
Bagi umat Islam agama bola ini ancaman yang serius. Ketika sebuah objek lebih menyita pikiran dan perhatian orang melebihi yang diberikan kepada tuhannya, berarti mereka sudah menghadirkan tuhan-tuhan tandingan. Kehadiran tuhan tandingan menandakan kesyirikan.
Di Indonesia pertandingan bola kadang lebih penting daripada shalat. Pertandingan dimulai pukul 7 malam, penonton sudah masuk sejak pukul 5 sore. Kapan umat-umat bola itu shalat Magrib?
Agama bola adalah agama sekuler, ciptaan manusia, yang tidak disadari telah jadi alat untuk merenggut umat agama langit. Kebanyakan umat bola berdalih hanya sekedar mencari hiburan. Tapi motif tersembunyi di balik sepak bola tidak banyak dipahami, sehingga sedikit sekali pandangan kritis yang muncul ke permukaan. Kebanyakan orang telah tenggelam dalam arus eforia pertandingan yang diliput berbagai stasiun televisi.
Discussion about this post